Ibuku Cintaku 3

Episode 3

ā€œUkkhhā€¦ā€ aku agak tersentak ketika kepalaku terasa sedikit ngilu. Mungkin karena secara tidak sadar aku mencoba bergerak berganti posisi tidurku ke arah kanan, dan membuat sedikit tekanan di dahi kananku yang lukanya sama sekali belum kering. Rasa tidak nyaman itu membuat kedua mataku tak bisa lagi kembali terpejam. Perlahan-lahan mataku mulai terbuka. Kantukku kini sudah tak lagi menguasai.

Kulihat situasi masih gelap. Belum ada sinar matahari yang menembus ventilasi jendela kamar.

ā€œMungkin ini masih subuh. Kalau udah subuh aku bangun aja deh.ā€ Pikirku.

Dengan mataku yang masih belum terbuka sepenuhnya kucoba melirik jam yang ada tepat di atas meja rias Ibu. Jam dinding itu tergantung di posisi yang sangat menguntungkan bagiku. Hanya tinggal sedikit menunduk dari posisi berbaringku sekarang, jam itu sudah terlihat. Ternyata waktu masih menunjukkan pukul 00.20 malam. Subuh masih jauh rupanya.

ā€œJadi dari tadi aku cuma tidur dua jam doang? Tapi kok rasanya udah lama ya?ā€ batinku.

ā€œAh, terserah deh. Tidur lagi aja.ā€

ā€œTapi susah banget nih rasanya buat tidur lagi. Ini bantalnya dua, tapi masih nggak enak juga nih di kepala. Apa pake satu aja ya? Atau ditambah jadi tiga kayak tadi? Mesti bangunin Ibu dong kalo gitu. Ah! Nggak tega gangguin Ibu tidur.ā€ Pergolakan terus terjadi di dalam hati dan pikiranku. Tapi aku tetap berusaha memejamkan mata.

ā€œSruuttā€¦srukkā€¦ā€ suara gesekan antara kaki dan kasur.

Di waktu tengah malam begini yang mana suara-suara aktivitas sudah tak ada lagi pasti membuat suara sekecil apapun terdengar dengan jelas. Apalagi di lingkungan rumahku yang bahkan saat siang saja selalu tenang dan sunyi.

Kedengarannya suara itu seperti datang dari bawah tempat tidur ini. Tepat dari sebelah kanan di mana Ibu sedang tertidur. Sepertinya Ibu lagi mengganti posisi tidur yang membuat suara gesekan terdengar jelas.

ā€œKayaknya Ibu ganti posisi tuh. Sambil nunggu ngantuknya datang lagi, seru juga nih sambil liatin Ibu.ā€ Pikirku.

ā€œAtau mungkinā€¦ aku bisa iseng ngintipin roknya Ibu kali ya. Dia kan lagi tidur, pasti bisa tuh.ā€ Pikiranku mulai mesum. Pipiku sedikit memanas membayangkannya.

ā€œEh, tunggu dulu! Ibu kan pake selimut? Gimana caranya? Terus ini kepala kan masih sakit? Ntar kalo aku turun, tiba-tiba kambuh lagi gimana?ā€ lagi-lagi datang perdebatan dalam pikiranku.

ā€œAh, bodo deh! Yang penting liatin wajah Ibu aja udah lebih dari cukup. Mudah-mudahan abis itu bisa tidur.ā€ Lanjutku memutuskan.

Kuputar leherku ke arah kanan perlahan-lahan sambil mengangkat sedikit leherku. Terasa sedikit sakit. Tapi dengan kesabaran dan semangat yang tinggi, akhirnya wajahku sudah terarahkan kurang lebih enam puluh derajat ke kanan.

Aku bermaksud menghadapkan seluruh badanku ke posisi serupa, agar aku bisa memandangi Ibu dengan jelas dan nyaman tanpa leher yang menoleh terus ke kanan. Tapi niat itu terhenti karena pemandangan luar biasa yang kulihat. Darahku langsung mendidih. Jantungku berdetak keras seolah sedang meledak-ledak di dalam dadaku.

Bagaimana tidak? Aku sekarang tidak sedang melihat Ibu dalam keadaan tidur, tapi sedang memegang-megang kemaluannya dari luar celana dalamnya yang berwarna hitam. Rok dasternya sudah tersingkap sampai ke pinggangnya. Matanya terpejam dan bibirnya sedikit menganga. Kedua kakinya mengangkang lebar, sementara buah dadanya yang sebelah kanan sudah tersembul dari balik dasternya.

ā€œApa-apaan nih!?ā€ pikirku takjub dan terkejut.

Aku sungguh shock melihat pemandangan yang baru pertama kali kusaksikan seumur hidupku ini. Keringat mulai mengalir di leherku. Mendadak kamar ini terasa sangat panas. Tapi anehnya seluruh badanku malah menggigil. Gemetar tak karuan layaknya orang yang kedinginan. Bahkan getaran itu terasa di setiap tarikan nafasku.

Kemaluanku menegang setegang-tegangnya hingga batas maksimal. Namun aku sudah tak peduli lagi akan posisi kemaluanku yang tidak nyaman. Yang kuinginkan adalah terus menonton pemandangan erotis ini. Walaupun hanya diterangi satu bola lampu bohlam yang berdaya 25 watt dan bercahaya kekuningan sebagai satu-satunya penerangan di kamarnya, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa dengan jelas melihat gerakan-gerakan gelisah Ibuku.

Pinggul Ibu bergoyang ke kanan dan ke kiri, meliuk-liuk seperti goyang biduan dangdut yang sering kulihat di acara dangdutan di lapangan dekat kantor kelurahan. Terkadang pantat Ibu terangkat, kemudian jatuh lagi ke atas kasurnya. Jari-jari tangan kanannya dengan intens menekan-nekan dan menggesek-gesek bagian kemaluannya. Sementara jari-jari tangan kirinya digunakan untuk meremas-remas dan memilin-milin puting payudara kanannya yang padat, montok, dan berukuran lumayan besar.

ā€œSsshhhā€¦. Emmhhhā€¦ sstttā€¦ uhhhā€¦ā€ suara desahannya mulai terdengar sayup-sayup di telinga kiriku yang beruntung ini. Tidak seperti telinga kananku yang mengalami nasib sial harus tertekan ke bantal.

ā€œAhhhā€¦ hhhsssstttā€¦ emhhā€¦ sshhhā€¦ā€ desahannya makin jelas. Dahinya mengernyit dan matanya masih terpejam merasakan kenikmatannya. Sementara pinggulnya bergoyang-goyang lagi. Kali ini bahkan lebih hot lagi dari yang tadi, karena kali ini dia mengeluarkan buah dadanya yang satu lagi dan merogoh keduanya bergantian dengan tangan kirinya. Lengkap sudah.

ā€œBuā€¦ Ibu seksi banget sih Buā€¦ Ibu juga cantik bangetā€¦ ukhhā€¦ Tito nggak tahan nih liatnyaā€¦ Tito jadi pengen ciumin Ibuā€¦ Tito pengen banget pegang tetek Ibu yang besarā€¦ Tito juga pengen banget pegang memeknya Ibuā€¦ uhhhā€¦ā€ Aku terus meracau dalam hati melihat pertunjukan Ibuku.

Kemaluan dan kepalaku rasanya panas sekali. Jantungku terus berdegup kencang memompa darah ke kepalaku. Akibatnya kepalaku terasa sakit lagi, namun tak seperti sakit yang sebelumnya yang begitu luar biasa.

ā€œUhhhā€¦ enakā€¦ enak sayangā€¦ entot memekkuā€¦ uhhhā€¦ ohhā€¦ā€ racau Ibuku agak berbisik.

Baru kali ini aku mendengar kata-kata Ibu yang sangat-sangat asing dan vulgar di telingaku. Badanku rasanya panas dingin. Aku sudah sangat-sangat tidak tahan. Posisi ini sungguh merugikanku. Leherku malah jadi sakit. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengubah posisi pembaringanku. Segera kuarahkan badanku ke kanan dengan lugas, menuruti arah kepalaku sekarang. Tapi tak lupa kututup mataku seolah-olah masih tertidur.

ā€œSretttā€¦!ā€ dengan satu gerakan singkat tubuhku sudah berputar searah jarum jam.

Karena gerakanku itu sepertinya gerakan ā€˜panasā€™ Ibu juga terhenti. Aku hanya bisa menebak-nebaknya karena sekarang mataku sedang terpejam. Aku tahu Ibu juga ikut-ikutan diam karena sekarang desahan dan racauannya sudah tak terdengar lagi.

Untuk mengetahuinya aku lalu berpura-pura sedikit bergerak, kemudian pura-pura mengigau dan kubuka kelopak mataku sesedikit mungkin untuk mengintip keadaan Ibu sekarang, lalu kututup lagi seolah-olah tertidur pulas kembali.

ā€œBerhasil!ā€ seruku dalam hati.

Dari gerakan mata sekilas itu terlihat Ibu sudah menutupi seluruh badannya dengan selimut yang tadinya sedikit tertindih di samping kanan tubuhnya. Mungkin tadi dia panik dan langsung meraih selimut itu untuk menutupi tubuhnya. Aku juga sempat melihat mata Ibu yang melirik ke arahku. Mungkin dia menungguku dan memastikan aku tidur tenang kembali untuk melanjutkan aksinya lagi.

Beberapa menit berlalu. Belum ada aksi lebih lanjut oleh Ibu. Namun kemudian terdengar Ibu seperti bangkit dari kasurnya. Aku masih berpura-pura tidur dan bersikap setenang mungkin. Sepertinya dia sedang berdiri di depanku sekarang. Karena aku bisa mencium aroma tubuhnya yang sepertinya sangat dekat denganku. Kurasakan tangannya mengguncang tubuhku pelan.

ā€œToā€¦ Titoā€¦ bangun Nakā€¦ Titoā€¦ā€ Rupanya dia berusaha membangunkanku. Tampaknya dia sekarang sedang memastikan aku tertidur pulas atau tidak. Aku sengaja tetap diam dan tenang.

ā€œTitoā€¦ bangun To!ā€ dia bersuara sedikit lebih keras dari yang tadi dibarengi dengan mengguncang tubuhku perlahan.

ā€œTito! Bangun Nak! Udah pagi nih! Cepat bangun Nak!ā€ katanya dengan suara yang jauh lebih keras dan lantang sambil mengguncang tubuhku lebih keras lagi.

Sebenarnya aku hampir tertawa ketika dia mengatakan bahwa ini sudah pagi. Tapi kutahan sekuat tenaga agar aku tak tersenyum apalagi tertawa. Aku tetap saja tak bergeming demi menyaksikan pertunjukan ā€˜susulanā€™ dari Ibuku. Aku tak boleh menggagalkannya.

Beberapa saat kemudian kudengar langkah kakinya seperti menjauh dariku dan aroma tubuhnya sudah tak tercium lagi. Kucoba menarik nafasku lebih dalam lagi. Tetap saja aku tak lagi mendeteksi aroma tubuh Ibuku.

ā€œIbu kemana ya? Apa dia keluar kamar terus tidur di kamarku?ā€ pikiranku bertanya-tanya.

Lalu entah keberanian dari mana, aku nekad membuka sedikit mataku. Aku harus memastikan segalanya dan kemudian memikirkan langkah selanjutnya yang harus kulakukan apabila Ibu memang benar-benar tidur di kamarku dan melanjutkannya di sana.

Namun baru sekejap kubuka sedikit kelopak mataku, jantungku lagi-lagi kembali dibuat berdegup kencang melihat pemandangan yang baru. Lihatlah, Ibu sekarang sedang berdiri di depan meja rias dan mengangkat dasternya ke atas hingga lepas dari tubuhnya. Kini di tubuhnya hanya menyisakan celana dalam dan BH-nya. Ibu membukanya sambil membelakangiku dan meletakkan dasternya asal-asalan di atas meja riasnya.

Setelah melihat itu aku langsung menutup mataku karena takut dia tahu dan melihat melalui cermin di meja rias bahwasanya mataku sedang terbuka. Posisinya saat ini tepat dihadapan cermin. Beberapa saat kemudian kurasakan lagi kehadirannya di hadapanku. Itu bisa kurasakan dari aroma tubuhnya yang sekarang tercium lebih kuat. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukannya selanjutnya.

ā€œPlukk!ā€ sesuatu jatuh di atas wajahku. Menutupi kepala yang diperban dan mataku.

ā€œApa ini?ā€ tanyaku penasaran. Dengan sedikit keberanian kubuka sedikit mataku.

ā€œIni kan!? Ini BH-nya Ibu!ā€ aku sangat terkejut dibuatnya. Aku mengetahui benda ini dengan mudah karena tali BH ini bergelayut tepat di mata kananku. Kemaluanku semakin tegang. Aku tak menyangka hal ini akan terjadi.

ā€œIbu mau ngapain sih sebenarnya?ā€ pikirku. Tapi kini mataku jadi bebas terbuka. Cup BH-nya yang cukup besar membuatku tak perlu khawatir lagi dilihat oleh Ibu karena benda ini sukses menutup akses mataku dari atas. Namun aku bisa dengan jelas dan nanar melihat ke sekeliling dari rongga-rongga samping yang tak tertutup.

Ibu sedang berdiri di hadapanku saat ini. Bisa kulihat dengan jelas celana dalam yang sedang dipakainya yang berjarak hanya sekitar 50 cm dari wajahku. Saat-saat ini sungguh sangat mendebarkan. Aku hampir berteriak karena tak kuat menjalani semua siksaan nafsu ini. Kemaluanku bergerak-gerak tak karuan di bawah sana. Untunglah sekarang posisiku menyamping, jadi tonjolan itu tak akan terlihat dari luar.

Kemaluanku kembali mendobrak celanaku seperti mau lepas saat Ibu menjalankan aksinya selanjutnya. Dia perlahan memelorotkan celana dalamnya tepat di depan mata mesumku. Kulihat vaginanya yang agak berambut berikut belahannya yang sepertinya agak basah. Vagina itu terjepit di antara paha putihnya yang padat berisi. Tidak ada selulit maupun lipatan lemak di perut maupun pahanya.

ā€œAstaga! Jangan-jangan Ibuā€¦ā€ Belum sempat aku menguatkan dugaan, aku serasa mau pingsan karena nafsuku lagi-lagi semakin meledak dibuatnya.

Bagaimana tidak? Ibu kemudian meletakkan celana dalamnya tepat menutupi mulut dan hidungku. Aromanya sungguh tajam menyengat. Ini sungguh di luar dugaanku. Ibu mungkin sudah sangat bernafsu sehingga dia melakukan hal nakal seperti ini pada anaknya.

ā€œAku sih emang suka kecantikan sama keseksian Ibu. Tapi apa dia suka sama aku juga ya?ā€ tanyaku dalam hati.

Namun aku tak perlu memikirkan hal itu sekarang ini. Ini benar-benar saat-saat yang sangat genting. Sekali saja aku berbuat kesalahan, aku pasti akan ketahuan dan tamatlah riwayatku. Aku harus memanfaatkan keadaan ini sebaik mungkin. Ini bukanlah pengalaman yang bisa aku dapatkan setiap hari.

Dalam hatiku aku bersyukur karena mendapatkan luka ini. Ini sungguh-sungguh luka pembawa berkah bagiku. Aku sekarang menatap dengan puas vagina, pinggul dan paha Ibu dengan bebas dan dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan sekarang aroma selangkangannya menyeruak di hidungku. Akan kurekam dengan baik bau vagina dan pantat Ibu di otakku.

Ketika masih khusyuk merasakan bau celana dalam Ibu yang begitu menyengat dan lembab, kulihat Ibu mulai bergerak dan naik ke atas tempat tidur.

ā€œEh? Ibu mau ngapain nih?ā€ Aku terkejut bukan main melihatnya. Dia merangkak ke atas tempat tidur dan kemudian berbaring menyamping ke kiri menghadap ke arahku. Dia memposisikan tubuhnya sedikit ke atas ranjang dan kedua buah dadanya kini tepat di depan mataku. Dia memanfaatkan dengan baik bagian kosong ranjang yang cukup sempit di hadapanku ini.

ā€œLuar biasa! Ini benar-benar menegangkan!ā€ teriakku dalam hati.

Tapi untunglah dia tak mencoba mengangkat BH-nya yang menutupi mataku. Kalau tidak aku terpaksa menutup mataku kembali dan pura-pura tertidur. Kucoba juga melirik perlahan sedikit ke atas dimana wajahnya berada sekarang. Ternyata BH ini sukses menutupi akses penglihatan dari bagian keningku. Jadi semua pertunjukan ini akan aman sepenuhnya. Ditambah lagi bantalku yang cukup tinggi membuat bagian wajah Ibu berada sedikit di bawah.

ā€œAduhh!ā€ jeritku dalam hati. Gerakan melirik ke atas barusan sempat membuat kepalaku sakit.

Sesaat kemudian dia memulai aksinya yang sebenarnya. Ternyata dia ingin memainkan vaginanya tepat di sampingku sambil telanjang bulat. Ini sungguh benar-benar di luar dugaanku. Aku melotot sejadi-jadinya melihat buah dadanya yang mulai bergerak-gerak, dan melihat ketika tangannya memainkan vaginanya. Aku tak bisa lagi melihat bentuk vaginanya karena posisi tubuhnya sudah hampir rapat ke tubuhku. Aku hanya bisa melihat rambut-rambut halus vaginanya yang mengintip dari jari-jari tangannya.

Ibu mengangkat kaki kanannya ke atas dan ditahannya dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya bertugas menggesek-gesek vaginanya.

ā€œUkhhhā€¦ sayanghhhhā€¦ Tito anak Ibuā€¦ Sshhhhā€¦ Ouhhhā€¦ā€ dia mulai mendesah sambil memainkan vaginanya. Aku hanya diam terpaku sambil mengontrol nafasku agar tak terlalu berat dan cepat.

ā€œSekarang manahhā€¦ yang lebih cantik sayanghhā€¦? Ibuhhā€¦ atauā€¦ Bu Ainihhhā€¦ Ohhhā€¦ Uhhhā€¦ Shhhā€¦ Ahhā€¦ sayangghhhā€¦ā€ Dia meracau dengan membandingkan dirinya dengan Bu aini seperti cerita kami sebelum tidur. Itu sungguh-sungguh membuat kemaluanku semakin ingin pecah di dalam celanaku.

ā€œEmmhhhā€¦ Enakk bangethh sayā€¦ yanghhhā€¦ Ssshhā€¦ Memek Ibu enakk banget sayanghhā€¦ Tito udahhhā€¦ cium bau memekā€¦ shhhā€¦ Ibu kan sayanggā€¦? Gimanahhā€¦? Ohhhā€¦ Sshhhā€¦ wangi nggakā€¦? Ahhhā€¦ Enak banget memekkuhhā€¦ Titoooā€¦ Shhhā€¦ Oouhhā€¦ā€ Desahan Ibu membuatku semakin menggigil. Kuhirup dalam-dalam celana dalam Ibu untuk kesekian kalinya.

Kemudian kulihat jari Ibu di bawah sedang berusaha masuk ke dalam vaginanya. Kulihat yang berperan adalah jari tengahnya.

ā€œOuuhhhā€¦ā€ Erang Ibu ketika jarinya masuk ke dalam vaginanya. Langsung dikocoknya dalam tempo tinggi.

ā€œKalian mau ngentotinhhā€¦ Auuhhā€¦ Ibu kan Shhhā€¦ sayanggā€¦? Iya kan? Emmhh.. ouhhā€¦! Iya kan Ramaā€¦? Titooohhh? Uhhhā€¦ enakknyaahhhā€¦ jawab Ibu anak-anakkuuhhhā€¦ Enghhhā€¦!ā€

ā€œApa! Rama?ā€ Ditengah nafsuku yang mendalam aku sempat tersentak Ibu menyebutkan nama Rama.

ā€œBuat apa Ibu bilang-bilang nama Rama?ā€ Batinku. Tapi aku sungguh tak sempat memikirkan itu, aku sudah terlanjur di dalam kobaran nafsu sekarang ini.

ā€œKalianhhā€¦ mauuhhā€¦ ngentott sama Ibu terussshhh kan Ramahhhā€¦ shhhā€¦ Titoooā€¦ Ahhhā€¦!ā€ kocokan dan erangan ā€˜gilaā€™ Ibu semakin dahsyat saja. Sekarang suaranya tidak ditahan-tahannya lagi seperti bisikan sebelumnya. Sekarang taraf suaranya sudah seperti layaknya dia berbicara. Nafasku juga semakin menderu menciumi celana dalamnya.

ā€œKaliaannhhhā€¦ ajakh donghhhā€¦ si Ainiihhā€¦ ngentotttsshh sama kitahhhā€¦ di sinihhhā€¦ Biar ukhhhā€¦ biar kita bisā€¦ aahhh ohhā€¦ bisahhh pestahhhā€¦ emmhh ahhhā€¦ truussshhā€¦ kita bisahh sshhā€¦ muncrattt bareng dehhā€¦ aaaauhhhā€¦ Sayangghhhā€¦ Ibu bentar lagi keluarr sayaaanngghhā€¦ entotin memek Ibu terusshhhā€¦ iyaaaā€¦ gituuhh!ā€

Aku benar-benar tak tahan dengan semua ceracau dan erangan Ibu. Badanku tiba-tiba gemetar dan menggigil sejadi-jadinya. Aku tetap mencoba menahannya sebisaku. Untunglah Ibu tak menyadarinya sekarang. Mungkin saja saat ini dia sedang terpejam.

Baru kali ini aku merasakan yang seperti ini. Tangan Ibu di bawah juga kulihat sudah seperti mengobok-obok vaginanya. Kakinya terlonjak kesana-kemari seperti tak khawatir kalau-kalau aku akan terbangun sewaktu-waktu karena hentakannya.

Tangannya menusuk, mengocok, dan menggesek-gesek vaginanya seolah ingin menggilasnya. Begitu terus sampai kulihat buah dadanya terombang-ambing. Aku di sini seperti terkena demam tinggi dan menggigil hebat seperti tersengat listrik.

Tiba-tiba kurasakan perasaan yang teramat geli dari kemaluanku. Rasa geli yang luar biasa. Bahkan bibirku yang sekarang tertutupi celana dalam Ibu bergetar sendiri. Kepalaku juga serentak mengeluarkan rasa sakitnya.

ā€œAduh, kenapa ini!? Aku rasanya kok mau kencing!? Tapi enak banget! Aduh, bisa bahaya kalau sampai aku ngompol di sini! Gimana nih? Rasanya kok nggak bisa ditahan? Terasa makin geli! Kepalaku juga kambuh lagi nih!ā€ pikirku panik.

ā€œIyaahhhā€¦ sayangg! Ibu mau keluarrr! Aaahhhā€¦! Ramaaa! Ibu mau keluarrr di kontoll kamu sayangghh! Titooā€¦ tusukkk terusss pantatt Ibuhhā€¦! Aahhh! Auuhhh! Muncratin mani kalian di dalam memek sama pantat Ibu sayanggghhā€¦! Ayo keluarin sama-samahhhā€¦! Oooouuhhhā€¦ Ahhhh! Ibu keluarrrā€¦! Ibu keluaaarrrā€¦!ā€

ā€œNggghhhā€¦ nggghhhā€¦ ngghhhhā€¦!ā€ Ibu menggeram, kejang-kejang dan pinggulnya terlonjak-lonjak ke depan dan ke belakang. Lututnya bahkan sampai mengenai lututku. Tangan kanan yang tadi digunakannya untuk menaikkan kakinya, di posisi akhir ini digunakan untuk menggantikan peran tangan kirinya untuk menekan-nekan memeknya dan terjepit erat di antara kedua pahanya. Sementara tangannya yang satu lagi, kini sudah berpindah memeras buah dadanya sebelah kanan. Kakinya bergetar dan menyentak-nyentak ke arah bawah.

Aku sempat tak bernafas melihat guncangan hebat Ibuku itu. Kupikir terjadi sesuatu padanya. Karena baru kali ini aku melihat wanita merasakan ā€˜getaran hebatā€™ yang aku belum tahu bahwa namanya adalah orgasme. Namun rasa takut itu dengan mutlak tertimpa oleh nafsuku yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Melihat Ibu dalam keadaan menggelepar seperti cacing kepanasan seperti itu membuat rasa geli di batang kemaluanku sudah tak tertahankan lagi.

ā€œIbuuu! Tito kencing Bu! Tito kencing liat Ibu mainin memek! Ouuhh! Wangi banget Bu celana dalam Ibu! Kencingnya Tito enak banget Bu!ā€ teriakku dalam hati.

ā€œSerrrā€¦ serrrā€¦ serrrā€¦serrrrā€¦ā€ entah berapa kali aku menyemprotkan kencingku itu. Badanku tegang dan kaku ketika kencingku keluar. Mataku sayu dan pandanganku memburam merasakan semprotannya. Kepalaku berdenyut hebat tapi kutahan sekuat tenaga. Sungguh tak seperti kencing yang biasanya.

Aku pasrah saja apabila kencingku akan membasahi tempat tidur Ibu. Aku sudah tak kuat lagi untuk menahannya. Namun kemaluanku tetap saja tegang. Karena dihadapanku Ibu masih menikmati sisa-sisa kenikmatannya. Buah dadanya yang masih menunjukkan getaran halus, kakinya yang masih menyisakan kejang-kejang yang tadi, ditambah tangan kirinya yang masih memainkan dadanya.

Terdengar nafas Ibu sudah mulai teratur tapi hembusannya terdengar masih berat. Dia menggesek-gesek halus vaginanya dengan tangan kanannya yang masih belum beranjak dari sana. Aku yang melihat dari sini seolah tak kuat lagi untuk membuka mata. Yang barusan memang di luar ambang batas kenikmatan dan khayalanku selama ini. Aku juga sedang berusaha menenangkan denyutan di kepalaku.

Kemudian Ibu mengambil celana dalam dan BH-nya dari wajahku. Dengan sigap aku menutup mataku. Memasang posisi pura-pura tidur. Ada sedikit perasaan kecewa juga ketika nafasku kembali segar. Aroma luar biasa memabukkan itu akhirnya hilang dari indra penciumanku.

Ibu kemudian berkata agak berbisik padaku, ā€œOh, kasian anak Ibu. Keringetan jadinya ya sayang? Gara-gara ketutup BH sama celana dalam Ibu ya? Hihihiā€¦ Memang Ibu yang salah Nak. Soalnya Ibu nggak tahan lagi sayang, maafin Ibu ya sayang.ā€ katanya sambil mengecup keningku mesra.

ā€œJadiā€¦ Sekarang gimana sayang? Menurut kamu cantikan mana? Ibu atau Bu Aini? Pastinya cantikan Ibu dong ya? Hihiā€¦ Soalnya kan Ibu udah telanjang di depan kamu, ya nggak?ā€ dia terus saja berbicara monolog.

ā€œKamu suka nggak tadi bau memek Ibu?ā€ dia bertanya padaku, tapi aku tentu saja tetap diam pura-pura terpejam tidur.

ā€œHmm? Nggak? Apanya yang nggak?ā€ dia menjawab pertanyaannya sendiri.

ā€œIbuku mulai melucu nih.ā€ Pikirku.

ā€œOoohā€¦ nggak jelas ā€˜baunyaā€™. Bilang dong dari tadi.ā€ Katanya menyimpulkan jawaban sendiri.

ā€œBentar ya, biar kamu bisa cium bau yang lebih jelas.ā€ Imbuhnya lagi.

ā€œApalagi yang akan dilakukannya?ā€ pikirku. Aku hanya bisa penasaran menunggu sambil tetap terpejam.

ā€œNih sayang, bau memek Ibu. Harum kan?ā€ katanya. Tiba-tiba aku merasakan bau yang begitu kuat. Sangat menyengat sampai-sampai aku hampir tak bisa berkonsentrasi dengan kepura-puraanku.

Dioleskannya cairan yang ada di tangannya itu di mulut, hidung, dan pipiku. ā€œMungkin itu adalah cairan yang keluar waktu dia ā€˜kejang-kejangā€™ tadi.ā€ Pikirku.

Aku belumlah tahu hal apa yang terjadi pada kami berdua tadi hingga membuat kami sampai terkejang-kejang. Yang jelas itu sangat nikmat dan itu belum pernah terjadi padaku sebelumnya. Aku belum pernah onani sekalipun. Dan belum mengenal betul akan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Aku pernah mendengar istilah ā€˜ngentotā€™ dari teman-temanku, tapi aku tak tahu apa artinya itu. Ibuku juga menyebutkan kata itu tadi. Sepertinya itu harus kutanya pada seseorang suatu hari nanti. Tapi aku takut untuk menanyakannya pada Ibu. Aku takut akan kemungkinan bahwa itu kata-kata yang buruk dan sebagainya.

ā€œMasih kurang? Ya udah, Nih! Ini yang terakhir ya sayang. Hihiā€¦ā€ sambungnya sambil mengoleskan kembali cairan itu ke seluruh wajahku untuk yang kesekian kalinya.

Wajahku kini seperti sedang mendapat perawatan salon. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam. Dengan perlahan dia meratakan cairan berbau tajam itu ke seluruh wajahku. Kurasakan tangannya menyentuh bibirku berkali-kali.

Tak lama dia menghentikan perbuatannya. Ibu hanya mengelus-elus rambutku setelahnya. Lalu menciumku di kening dan kedua pipiku. Namun beberapa detik kemudian dia mengecup bibirku. Di dalam hatiku aku sangat-sangat terkejut, tapi aku harus tetap mengontrol diri.

Seolah belum puas dia kemudian mengulangi kecupannya itu berkali-kali. Diciuminya bibirku dengan penuh nafsu. Namun aku tak bisa membalasnya. Bibirku tetap layu begitu saja. Padahal ini adalah salah satu hal yang paling aku tunggu-tunggu dalam hidupku.

Sesaat kemudian setelah dia puas melakukannya, akhirnya dia perlahan-lahan bangkit dari ranjang dan sepertinya melangkah menjauh dariku. Kuintip sedikit dengan mata yang menyipit apa yang dilakukannya saat ini. Ternyata dia bercermin sebentar sambil menggenggam BH dan celana dalamnya. Kali ini kuberanikan terus mengintip dan ternyata dia tak menyadarinya dari pantulan cermin. Sepertinya dia terlalu fokus pada dirinya sendiri.

Kemudian kulihat dia mengambil dasternya tadi yang teronggok di atas meja rias dan berlenggang telanjang bulat keluar kamar. Sempat kulihat pantat semoknya yang mulus berlenggak-lenggok ketika berjalan hingga tubuhnya benar-benar menghilang dari pandanganku.

Aku sudah tak sanggup lagi berbuat atau memikirkan apapun saat ini. Niatku yang tadinya untuk segera tidur lagi setelah memandangi Ibu terwujud sudah. Aku benar-benar sangat mengantuk setelah ketegangan memuncak yang kualami karena melihat Ibu. Atau mungkin lebih tepatnya menonton Ibu.

Aku bahkan seakan-akan tak punya tenaga lagi untuk mengganti celanaku yang terkena ā€˜kencingā€™ tadi. Dan aku memang tak akan bisa melakukannya. Sebab untuk bangkit sendiri saja aku tak sanggup, apalagi mengganti celana. Biarlah besok kupikirkan hal itu. Sekarang ini aku hanya ingin tidur pulas dan menghadapi esok hari yang aku tak tahu akan jadi seperti apa.

Kulirik ke bawah, jam sudah menunjukkan pukul 01.05 dini hari. Kuputar posisi tubuh dan kepalaku menjadi telentang lagi dengan perlahan. Setelah kenyamanan kudapatkan, kelopak mataku juga segera jatuh terpejam beberapa saat kemudian. Dan tertidur untuk kali kedua di malam ini.

***

Bersambungā€¦
Published by humandroi
9 years ago
Comments
Please or to post comments