Ibuku Cintaku 2
Episode 2
“Dimana aku?” Aku bertanya-tanya di dalam hati akan keberadaanku sekarang.
Di hadapanku sekarang ada sebuah rumah. Dari bentuknya persis seperti rumahku. Dikelilingi tanaman dan beberapa pohon rindang. Di depan rumah ini, tepatnya di teras, aku bahkan melihat tempat duduk rotan yang biasa aku duduki di kala melepas penat setelah pulang sekolah. Ya, ini memang rumahku.
“Apa yang kulakukan di luar sini?”
Langit juga sangat gelap seperti akan segera turun hujan yang sangat lebat. Awan-awan bergumpal seakan sedang menuju ke arahku.
“Hanya perasaanku aja atau aku memang sedang merasakan sesuatu yang agak aneh?” Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Semua tampak sepi dan begitu senyap.
“Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku masuk aja deh, lagian udah mau hujan.” Aku berlenggang dengan santainya sampai teras rumah.
Kuputar gagang pintu depan seperti biasa sambil berkata, “Bu! Tito pulang Bu!”
“Eh? Kok nggak dikunci?” pintunya terbuka begitu saja.
Aku terkejut dengan apa yang kulihat kemudian. Sungguh aneh. Saat ini Ibu sedang bertekuk lutut ke pintu depan. Bisa dibilang ke arahku. Sambil mengeluarkan air mata yang seolah-olah tidak berhenti. Terus mengalir membasahi kedua pipinya. Namun wajahnya tidak seperti orang menangis, malah seperti orang yang diam tanpa ekspresi. Matanya menatap kosong ke arahku. Begitu pula aku yang masih terdiam terpaku menatapnya.
Sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa agak jauh di belakangnya ada seseorang yang sedang berdiri. Seorang laki-laki dewasa berpakaian putih sedang berdiri tepatnya di depan pintu kamar Ibu. Dia juga menatapku. Tapi dengan tatapan yang sangat tajam. Aku jadi takut dibuatnya.
“Ibu kenapa? Siapa dia Bu? Apa yang dia lakuin sama Ibu?” Aku tiba-tiba membanjiri Ibu dengan pertanyaan. Tapi Ibu tetap seperti itu, diam menatapku dan mengeluarkan air mata.
Kuberanikan diri untuk maju. “Lho, kok? Kakiku?”
Aku rasanya sudah melangkah tapi kedua kakiku tetap diam di tempat. Aku seperti lumpuh. Kakiku berat sekali. Aku terus berusaha mengangkat, tapi tetap tak bisa maju walau hanya se-inchi.
“Aduh! Kenapa ini?” pikiranku kalut. Sementara mereka berdua masih diam tak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Hei! Siapa kamu!? Kamu apain Ibu aku? Jangan coba-coba ganggu Ibuku ya! Atau aku panggil semua orang-orang kampung sini buat mukulin kamu!” aku meneriakinya sambil terus mencoba mengangkat kakiku. Namun hasilnya tetap nihil. Sementara pria itu masih saja menatapku tajam.
Sesaat kemudian kulihat Ibu mengulurkan tangannya padaku, namun masih dengan mimik wajah yang sama. Aku yang masih menatapnya aneh, refleks mencoba mengulurkan tanganku juga. Namun yang terjadi selanjutnya malah lebih parah. Kedua tanganku pun tak bisa digerakkan.
“Ada apa sih ini? Kok tangan sama kakiku nggak bisa gerak begini? Aku kenapa nih?” pikiranku semakin panik saja.
“Bu! Tito kenapa nih Bu!? Tangan sama kaki Tito nggak bisa gerak nih! Tolongin Tito Bu!” aku hanya bisa berteriak minta tolong ke Ibu karena keadaanku sekarang.
“Bu! Tol….” Belum selesai teriakanku ke arah Ibu, perhatianku teralihkan ke pria berbaju putih itu.
Kali ini dia menggelengkan kepalanya dengan tegas. Terus-menerus dan tidak berhenti. Entah apa maksudnya sebenarnya. Aku jadi bingung. Bahkan rasa bingungku mengalahkan rasa panikku yang tadinya sangat menghantuiku.
Cukup lama dia menggeleng. Ketika gelengan kepalanya berhenti dia langsung berbalik badan dan berjalan perlahan menuju ke belakang rumah.
Aku tak mau membiarkannya pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa-apa. Namun apa daya, kedua kaki dan tanganku tak berdaya. Aku hanya bisa berteriak memanggilnya.
“Hei! Tunggu! Kamu siapa!? Tunggu! Jangan pergi dulu! Kamu apain Ibuku!? Kenapa Ibuku bisa nangis!? Tunggu! Hei…!” aku terus saja berteriak.
Hingga…………
“Hei!” Aku berteriak dalam posisi yang lain. Kali ini aku sedang berbaring. Tapi kali ini dalam keadaan terang benderang. Cahaya dari lampu bohlam berwarna kekuningan menerpa mataku. Dengan mataku yang agak menyipit karena cahaya lampu, aku mencoba menatap sekitar.
“Kurasa ini masih di rumahku.” Pikirku.
“Tito nggak apa-apa Nak? Kok teriak-teriak sayang? Gimana kepalanya? Sebelah mana yang sakit?” Tanya seseorang di sebelahku tanpa henti. Sepertinya suara wanita.
“Eh, ini kan suara Ibu?” pikirku.
Setelah kufokuskan penglihatanku ke sekitar, akhirnya terlihatlah semua dengan jelas, yang dihadapanku memang Ibu. Dan aku sekarang sedang berbaring di atas tempat tidurnya, di kamarnya.
“Tito nggak apa-apa Nak? Kepalanya terasa sakit? Apa yang Tito rasain sekarang Nak? Ayo bilang sama Ibu.” Tanya Ibu sambil mengelus-elus kepalaku. Dia sekarang duduk di atas ranjang, tepat di sampingku.
“Oh iya! Aku tadi kan jatuh? Pantes aja kepalaku terasa sakit sekarang.” Pikirku lagi.
Kupegangi kepalaku yang memang terasa masih sakit. Kurasakan ada perban di sana. Itu berarti kepalaku sempat berdarah tadi.
“Oh udah sadar si Titonya Yat? Nih air angetnya udah disiapin.” Potong seorang wanita yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar membawa secangkir penuh air putih hangat.
Aku tak menyangka wanita ini akan hadir di sini. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas sekarang dua dari tiga wanita pujaan hatiku ada di dekatku sekarang ini. Wanita yang menempati peringkat pertama di hatiku dan pikiranku, Ibuku sendiri dan wanita yang berada di peringkat kedua, Bu Aini, Ibu dari sahabat baikku, Rama.
Jika harus menilai dan membandingkan antara kecantikan Ibuku dan Bu Aini, aku pasti akan sangat-sangat kesulitan. Mereka punya paras dengan keunggulan sendiri-sendiri. Ibu sahabatku ini punya hidung yang sedikit lebih mancung dari Ibuku dan kulit yang lebih cerah. Bahkan kalau masalah kecantikan, Bu Aini ini bisa dibilang sedikit lebih cantik dari Ibuku. Tapi Ibuku punya wajah yang sangat-sangat manis dan punya kesan seksi. Apalagi jika sedang tersenyum membuatku mabuk kepayang.
Masalah perbandingan tubuh mereka sungguh sebelas dua belas. Aku tidak tahu kalau harus membandingkan dan memilih yang mana yang lebih baik. Mereka sama-sama punya dada yang cukup besar beserta pantat yang padat berisi. Walaupun Bu Aini memakai jilbab dalam kesehariannya, aku bisa melihat dan membandingkan ukuran buah dadanya dengan milik Ibu. Karena jilbab yang selalu dipakainya adalah model jilbab segitiga sederhana seperti yang dipakai para gadis remaja. Ditambah lagi bagian bawah jilbabnya yang menutupi bagian dadanya selalu disampirkannya ke kanan dan ke kiri sehingga bentuk payudaranya terekspos dengan sempurna. Bu Aini juga terkadang memakai rok panjang yang agak ketat di bagian pinggulnya sehingga aku bisa menerka seberapa bagusnya pantatnya.
“Nih Yat, kasih minum dulu si Tito, biar enakan.” Ujar Bu Aini menyodorkan air minum kepada Ibu. Lantas air minum itu disodorkan lagi oleh Ibu kepadaku.
“Ini Nak, diminum dulu airnya.” Kata Ibu sambil menopang bagian belakang kepalaku dengan tangan kirinya untuk lebih tegak.
Aku berusaha untuk membangkitkan kepalaku, tapi rasanya semakin sakit saja jika dipaksa untuk ditegakkan. Padahal menggerakkannya sudah cukup perlahan, tapi tetap saja sakit.
“Aduh, nggak bisa Bu. Kepala Tito masih sakit banget buat digerakin.” Keluhku. Ibu pun menurunkan kepalaku berbaring kembali di atas bantal.
“Sakit Nak? Jadi gimana caranya kalo mau minum atau makan?”
Ibu tampak bingung melihat keadaanku yang sedang meringis sekarang sambil memegangi kepalaku. Dia menatapku dan Bu Aini yang sekarang sedang berdiri mematung. Bu Aini juga sedikit mengernyitkan dahinya pertanda dia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sejenak Ibu berpikir dan menawarkan ide. “Gimana kalo bantalnya ditambah aja, Tito mau? Dibikin tiga lapis aja biar punggungnya Tito lebih tegak, ya?
Mataku menatapnya sayu, lalu hanya bisa mengangguk pelan mengiyakan sarannya.
“Ya udah, sebentar ya Ibu ambilin dulu bantal tambahannya dari kamar Tito.”
Ibu pun segera beranjak keluar ke kamarku untuk mengambil bantal. Meninggalkan kami berdua di kamarnya. Bu Aini hanya tersenyum melihatku seakan memberi kekuatan baru. Dia lalu duduk di sebelah kakiku.
“Bu Aini memang cantik.” Batinku.
“Tapi Rama kok tampangnya pas-pasan amat ya? Beda jauh sama Ibunya. Oh, mungkin keturunan Bapaknya yang punya tampang pas-pasan juga. Hehehe…” Aku masih sempat-sempatnya berpikir yang enggak – enggak terhadap temanku itu di saat seperti ini. Padahal Bapaknya Rama belum terlalu lama meninggal. Masih sekitaran 2 tahun yang lalu.
Bapaknya Rama yang kutahu waktu itu bekerja di perkebunan sawit di luar provinsi. Dia hanya sesekali pulang ke rumahnya. Rumah Rama tidaklah terlalu besar. Tergolong rumah sederhana seperti rumah kami, rumah permanen dengan dua kamar tidur seperti pada umumnya di desa itu. Tapi kedua orang tuanya punya uang yang cukup mumpuni untuk membeli barang-barang bagus. Contohnya gelang dan cincin emas yang sering dipakai Bu Aini, perabotan rumahnya yang bagus, juga sepeda milik Rama yang dulu sering dipinjamkannya padaku. Katanya itu sepeda berkualitas terbaik bahkan untuk anak-anak orang elit di kota besar.
Tapi semenjak kematian Bapaknya 2 tahun lalu, praktis Bu Aini juga berperan layaknya Ibuku, single parent yang harus berjuang menafkahi anak semata wayangnya. Kebetulan Rama juga seorang anak tunggal.
Bedanya Bu Aini dengan Ibuku adalah Bu Aini punya modal yang cukup untuk merintis usaha. Itu didapatnya dari uang tabungan dan asuransi jiwa suaminya, uang tabungannya sendiri dan perhiasannya, ditambah lagi bantuan dari pamannya yang ada di luar kota. Sehingga sekarang ini mereka punya toko sembako kecil-kecilan di pasar yang dikelola oleh Bu Aini sendiri berikut beberapa kuli yang diperkerjakannya.
Aku sudah menganggap Rama sebagai saudaraku sendiri, berikut juga Bu Aini yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Kupikir Ibu juga menganggap mereka begitu. Merekalah ‘keluarga’ terdekat kami sekarang. Mungkin karena pertemananku dengan Rama sejak kecil membuat kedua keluarga kecil ini terasa saling memiliki.
“Rama mana Bu? Kok nggak keliatan dari tadi?” aku sedikit bertanya padanya. Berbasa-basi.
“Oh, Rama nggak bisa ikut. Katanya pantatnya masih sakit kalo buat jalan jauh.” Ujar Bu Aini.
“Oh, gitu ya Bu.” Jawabku datar. Rama memang sudah jarang berkunjung ke rumahku akhir-akhir ini.
“Ah, mungkin karena dia ngebantu Ibunya.” Pikirku maklum.
Jarak dari rumahku ke rumah Rama sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Walaupun rumah kami ada di gang yang berbeda. Ada satu jalan besar yang menuju ke pasar dan sekaligus ke kota. Kalau aku dan Ibu akan menjual gorengan kami pasti melewati gang rumahnya Rama. Bahkan dari mulut gangnya kami bisa melihat rumahnya. Rumah Rama tidak terlalu jauh dari simpang gang yang lumayan lebar itu. Sementara rumah kami ada di gang sebelumnya dan agak jauh masuk ke dalam.
Di dalam gang rumahku hanya ada tiga rumah. Rumahku berada di paling ujung jalan. Ditambah lagi bangunan rumahku sedikit jauh dari pinggir jalan gang membuat rumahku seperti tersudut dan terasing sendiri.
Sebenarnya gang rumahku itu bukanlah murni gang yang buntu. Gang rumahku itu punya terusan berupa jalan kecil yang jika disusuri terus bisa jadi tembusan ke kampung sebelah. Tapi sangatlah jarang orang-orang menggunakan jalur itu untuk ke kampung sebelah, warga desa lebih memilih melalui jalan yang melewati kantor kelurahan yang lebih ramai dan banyak kegiatan ekonominya.
Jalan kecil itu dulunya digunakan almarhum kakekku untuk ke kebun dan pematang sawahnya. Aku dan Rama juga sekali-kali melaluinya untuk mandi di sungai dan main ke rumah teman-teman kami di kampung sebelah. Namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang karena aku sering sibuk membantu Ibu berjualan. Rama juga sering membantu Ibunya di toko mereka. Baru tadi pagilah kami sedikit jalan-jalan ke sungai yang rencananya akan kami akhiri dengan mandi-mandi di sungai di hari Minggu yang cerah. Tapi apa daya, nasib pahit malah menimpa pantat Rama dan alhasil batallah rencana kami bersenang-senang.
Tak lama Ibu muncul lagi dengan sebuah bantal di tangannya. “Ini bantalnya. Tito bangkit dulu biar Ibu tumpuk sama dua bantal yang punya Ibu.”
“Gimana Tito bisa bangkit sendiri Bu? Kepala Tito kan masih sakit?” keluhku.
“Ya udah, biar Ibu bantu. Bu Aini, emm… bisa minta tolong tumpukin bantalnya nggak Bu? Soalnya, ini… aku mau angkat badan si Tito nih.” Minta Ibu pada Bu Aini dengan sedikit grogi.
“Ah, nggak usah panggil Ibu kali Yat, panggil Aini aja. Masa udah lama kenal masih pake Ibu-ibuan. Lagian umur kita berdua kan juga hampir sama. Seterusnya panggil Aini aja ya.”
“Oh, hehe… Iya Bu, Eh! Aini.” Jawab Ibu latah.
“Hehe… ya udah, yuk! Sini biar aku yang atur bantalnya.” Kata Bu Aini sambil bangkit dari duduknya dan berdiri di samping tempat tidur. Kemudian meraih bantal di tangan Ibuku.
Ibu naik merangkak ke atas tempat tidur, membungkuk, lalu mencoba meraih punggungku dengan kedua tangannya. Ini membuat kedua buah dadanya yang masih tertutup daster tipis untuk mencuci piring tadi mengarah ke wajahku. Ketika dia menarikku bangkit, pipi dan bibirku jadi menempel di kulit dada kanannya yang tak tertutupi sempurna karena lingkar leher dasternya yang rendah.
Seketika saja hal itu membuat jantungku berdegup kencang dan memompa darah begitu banyak menuju kepalaku. Wajahku memanas dan kepalaku mulai berdenyut-denyut sakit. Tapi anehnya aku tetap saja meneruskan kemesumanku dan Ibu juga sepertinya tidak merasakannya. Mungkin karena dia sedang fokus mengurusku, anaknya yang sangat kurang ajar ini.
“Aduh, sakit banget! Kepalaku rasanya nyut-nyutan, kayak mau pecah aja!” teriakku dalam hati. Tapi aku tetap tak mengurungkan kegiatan ‘gila’ itu.
Aku bahkan mencoba sedikit-sedikit menarik nafasku mencium aroma buah dadanya. Dan kucoba lebih menekan bibirku di gundukan dadanya. Terasa sangat lembut karena bibirku mengenai kulit dadanya yang bagian atas yang bebas dari BH.
Kemaluanku tegang seketika di dalam celanaku. Untunglah masih tertutupi selimut, jadi tidak terlalu kelihatan ada ‘efek tenda’ dari luar. Aku merasa sangat tak nyaman dengan penis yang kembali mendobrak resleting celanaku. Walaupun aku sudah membiasakan menggunakan celana dalam setelah sunat, tapi kalau posisinya tegak begini jadi terasa ngilu.
Setelah bantal-bantal itu ditumpuk oleh Bu Aini, badanku pun diturunkan perlahan-lahan oleh Ibu. Badanku kini dalam posisi yang jauh lebih tegak dari yang tadi dan jadi lebih nyaman. Karena darah tak terlalu banyak mengalir ke kepalaku seperti ketika aku berbaring.
Kabar buruknya, kegiatan mesumku berakhir. Sementara kabar baiknya, kepala penisku yang sudah berontak dari tadi jadi lebih tenang dan ketegangan jadi berkurang.
“Gimana Nak? Udah agak enakan kepalanya?” Tanya Ibuku memastikan.
“Iya Bu, lebih enak posisi begini.” Jawabku yakin.
“Syukur deh kalo gitu. Nih diminum dulu airnya Nak. Ntar keburu dingin.” Kata Ibu sambil menyodorkan segelas air hangat tadi kepadaku.
Dengan cepat kuteguk segelas penuh air hangat itu sampai habis. Rasa sakit dan trauma otak karena kecelakaan tadi membuatku jadi begitu haus.
Setelah air itu habis, Ibu turun dari ranjang dan meletakkan gelas yang juga terbuat dari bahan kaleng tebal itu di meja rias tempat alat-alat kosmetik dekat lemari pakaian. Kemudian dia kembali duduk di tepi ranjang di samping kanan kepalaku, memperhatikanku sambil tersenyum dan mengelus kepalaku. Bu Aini juga ikut-ikutan duduk di dekat kakiku memberikan senyuman hangat padaku. Aku yang diperhatikan begitu khususnya oleh Bu Aini yang biasanya tak pernah sedekat ini, tak ayal membuatku sedikit malu juga.
“Oh, indahnya dua bidadari ini. Andai saja ini terjadi setiap hari, pasti aku orang paling bahagia di dunia.” Batinku.
“Tito mau Ibu ambilin lagi air hangatnya?” kata Bu Aini memecah keheningan.
“Oh, nggak usah Bu, makasih banyak.” Sahutku.
“Iya Bu. Nggak usahlah. Aku udah banyak ngerepotin Ibu lho.” Sambung Ibuku.
“Loh Yat? Kok panggil ‘Ibu’ lagi sih? Kan tadi udah dibilang ga usah pake Ibu-ibuan. Masih aja kamu kebawa-bawa kebiasaan lama. Kamu kan udah nggak nyuci lagi di rumah aku. Berarti aku bukan majikan kamu lagi sekarang. Toh waktu kamu masih nyuci di rumah aku aja kan aku udah nyuruh kamu jangan panggil ‘Ibu’, masih aja kamu ngeyel.” Omel Bu Aini panjang lebar.
Ibu yang sedang diomeli hanya tersenyum dan tertunduk malu sambil melirik ke arahku. Aku lucu sendiri melihat tingkah Ibuku ini. Dulu Ibu memang bekerja sebagai kuli cuci di rumah-rumah warga kampung sini. Salah satunya ya di rumah Rama alias rumah Bu Aini.
“Bu, ceritanya gimana sih kok Bu Aini bisa di sini?” tanyaku pada Ibuku.
Wajah Ibu yang tadinya cerah tiba-tiba jadi diam. Lambat laun wajahnya berubah jadi sangat sedih seperti ingin menangis. Dia menatapku lamat-lamat.
“Tadi Ibu takut banget kamu kenapa-napa Nak. Darah kamu tadi banyak banget keluarnya. Ibu betul-betul panik tadi.” Suara Ibu bergetar menjelaskannya.
Tiba-tiba terdengar isakan dari Ibu. Air matanya menetes. Namun ia tetap melanjutkan kronologinya. Bu Aini yang begitu prihatin kamudian tegak di samping Ibu, merangkul dan mengusap-usap bahu Ibu mencoba menenangkan.
“Hikss…hikss… Ibhh…Ibu takut banget Nak. Ibu pikir kamu kenapa-napa. Hiksss… Mana kamu tadihh… nggak nyahut-nyahut waktu Ibu panggil. Terus Ibu goyang-goyangin badan kamu, kamu diem aja… hikss… huuhuuhhuu…” Tangis Ibu semakin menjadi-jadi. Bu Aini memeluknya semakin erat.
Ibu pun membalas pelukannya dan tangisannya pun pecah di dalam dekapan Bu Aini. Air mata Bu Aini juga ikut-ikutan menetes. Aku yang sedang terbaring hanya bisa melihat dengan suasana hati yang tidak menentu.
Cukup lama tangisan Ibu berlangsung di dalam dekapan Bu Aini dan membuatku seperti mati gaya dan pikiranku seperti kosong. Aku tak menyangka Ibu sampai sebegitu kalutnya.
Ketika tangisannya mereda, Bu Aini melepaskan pelukannya, lalu membungkuk dan menghapus air mata Ibu sambil berkata, “sudah Yat, jangan diingat-ingat lagi. Kan ada aku di sini. Tito juga nggak apa-apa kan? Udah, jangan mikirin yang nggak-nggak lagi. Tuh liat, Tito jadi sedih juga tuh.”
Ibu menoleh ke arahku. Segera dia beranjak ke arahku kemudian mengecup keningku tepat disamping lukaku, mencium pipiku kiri dan kanan, dan kemudian menciumi punggung telapak tanganku berkali-kali. Lalu ditempelkannya telapak tanganku di pipi kirinya dan dia menangis lagi.
“Jangan tinggalin Ibu Nak… jangan tinggalin Ibu sayang… jang…hkss…hksss… jangan tinggalin Ibu ya Nak… hikss… Tito… anak Ibu… hikksss… hhh…” telapak tanganku basah oleh air matanya.
Tiba-tiba mataku seperti terendam di dalam air. Akhirnya aku menangis juga. Aku tak tahan melihat Ibu menangis dan memohon padaku.
“Ibu jangan nangis Bu, tolong jangan nangis. Hikss…hikkss… Tito nggak sanggup liat Ibu nangis. Tito nggak mau liat Ibu nangis. Tito mau… hhikkss… liat Ibu senyum terus. Bahagia terus sama Tito. Tito… hikss…hkss… nggak bakalan ninggalin Ibu. Tito janji Bu! Tito janji!” isakku dengan terus menatap wajahnya yang diselimuti haru.
Tiba-tiba, “NGUUUIIINGGG…!”
Kepalaku mendengung dan terasa sakit sekali. Tanganku di pipi Ibu terlepas. Mataku terpejam menahan rasa sakitnya. Mungkin ini dikarenakan emosiku yang naik tiba-tiba ketika menangis barusan.
“Aduh! Auhh! Sakit banget kepala Tito Bu!” seruku kesakitan. Aku hanya bisa mendengar suara Ibu dan Bu Aini yang panik.
“Eh! Aduh! Kenapa Nak!? Kepalanya sakit lagi ya!?” seru Ibu panik.
“Sebentar ya! Biar aku ambilin handuk sama air hangat.” Kata Bu Aini sigap ke dapur.
“Iya iya! Tolong ya Ni…” sambung Ibuku gelagapan.
Dalam sekejap Bu Aini sudah tiba lagi di kamar membawa handuk kecil dan sebuah baskom berisi air hangat. Dengan segera Ibu mengusap-usapkan handuk kecil lembab yang sudah dicelup ke dalam air hangat ke wajahku yang penuh air mata sambil mengelus-elus rambutku dengan lembut.
Semua usapan Ibu membuatku perlahan kembali rileks dan tenang. Sakit di kepalaku juga semakin berkurang. Perlahan kubuka mataku dan kulihat Ibuku tersenyum. Tapi dia tetap tak bisa menyembunyikan gurat-gurat kekhawatiran di wajahnya.
“Udah enakan kepalanya Nak?” tanyanya sedikit cemas. Diturunkannya baskom berisi air tadi ke bawah tempat tidur.
“Iya Bu, udah hilang sakitnya.” Jawabku juga dengan tersenyum padanya.
“Ini diminum lagi air angetnya To.” Bu Aini menyodorkan cangkir yang tadi yang kini sudah penuh lagi dengan air hangat.
“Gulpp…glukk…glukkk… Ahhh…” kuteguk airnya setengah cangkir dan kuberikan cangkirnya kembali ke Bu Aini.
“Huffhh…” Aku menghela nafas dalam-dalam sementara mereka berdua masih terduduk di tepi ranjang memperhatikanku. Beberapa menit berlalu. Cukup lama mereka menatapku membisu guna memastikan keadaanku selanjutnya.
“Tito capek banget nih Bu, jadi ngantuk.” Kataku memecah keheningan.
Mereka berdua sedikit tersentak dari pandangan kosongnya. Lalu Ibu pun menawarkanku untuk segera tidur.
“Ya udah, Tito tidur di sini aja ya. Biar Ibu temenin malam ini.” Katanya.
Beberapa detik kemudian Bu Aini pun bangkit dari duduknya dan mengucapkan salam perpisahan denganku.
“Tito cepat sembuh ya, jangan banyak-banyak bergerak dulu. Besok juga nggak usah sekolah dulu deh, takutnya lukanya nggak sembuh-sembuh malah makin parah lagi.” Anjurnya.
“Ibu pulang dulu ya To.”
“Iya Bu. Makasih banyak ya Bu.”
“Iya.” Jawabnya singkat.
“Ya udah, aku pulang dulu ya Yat.”
Ibuku pun tegak dari duduknya, menyalaminya, kemudian memeluknya sambil cipika-cipiki. Ibu berterima kasih terus-menerus seolah tiada hentinya.
“Makasih ya Aini. Aku nggak tau harus gimana ngebalesnya.”
“Udah, udah. Nggak usah dipikirin. Aku udah nganggap kalian itu keluarga aku sendiri. Jadi jangan sungkan-sungkan minta bantuan apapun ya.” Ujar Bu Aini.
“Kamu baik banget Aini. Mudah-mudahan Tuhan membalas semua kebaikan kamu. Rama juga semoga cepat sembuh ya.”
“Iya, iya. Amin. Ya udah, aku pulang dulu ya.”
“Iya.” Jawab Ibuku dengan senyumnya yang mengembang.
Mereka pun berjalan keluar dari kamar dan selama perjalanan ke pintu depan Ibu tetap saja terus-terusan berterima kasih. Hingga tak lama kemudian kudengar pintu depan terkunci. Kulihat waktu di jam dinding sudah menunjukkan pukul 10.15 malam. Ibu kembali ke dalam kamar setelah mengerjakan sesuatu di dapur. Mungkin merapikan dapur yang sedikit berantakan karena Bu Aini mengambil air tadi.
“Lho? Anak Ibu kok belum tidur? Katanya tadi ngantuk.” Tanya Ibu padaku yang sudah duduk disampingku. Aku hanya tersenyum saja.
“Bu, Tito mau nanya nih, boleh nggak?”
“Mau nanya apa sih? Ya udah, abis Ibu jawab Tito tidur ya.”
“Iya Bu. Emm… tadi kok Ibu minta tolongnya ke Bu Aini? Kok nggak ke tetangga yang paling dekat aja? Kayak Bu Halimah sama Pak Imron atau Bi Siti sama Bang Baim yang di simpang gang?”
“Kamu taulah keluarga Pak Imron sama Bu Halimah. Mereka berdua kan punya ternak sama sawah yang harus diurusin setiap hari. Liat tuh, ngurusin ayam-ayam mereka aja mereka pasti udah capek banget kan? Biasanya rumahnya aja jam 8 udah sepi aja tuh. Dah pada tidur mungkin. Kalo Bi Siti kan udah agak tua, masa disuruh ngangkat-ngangkat badan Tito.”
“Terus si Baim anak Bi Siti kan tiap hari kerjaannya ngangkut barang pake pick-up ke luar kota. Pulangnya juga sore banget. Kan pasti capek. Lagian Ibu nggak enak dong, masa sama laki-laki.” Sambungnya lagi.
“Iya juga ya Bu. Hehe…” jawabku cengengesan.
“Lagian di kampung ini kan yang paling dekat sama Ibu Cuma Bu Ratmi sama Bu Aini. Bu Ratmi rumahnya kan jauh. Jadi ya terpaksa Bu Aini deh.” Lanjut Ibuku.
“Oh, gitu ya Bu. Bagus deh kalo gitu.” Kataku santai.
“Hmm? Bagus apanya?”
“Ya, bagus aja kalo Bu Aini yang datang ke sini. Tito jadi nggak usah repot-repot datang ke rumahnya atau ke tokonya.”
“Lho? Memangnya kenapa?” Tanya Ibu penasaran.
“Iya. Emm… ya… gitu deh pokoknya.” Aku jadi salah tingkah.
“Gitu apanya?” tanyanya semakin menyelidik. Dahinya mengernyit mendengarkan cara bicaraku yang semakin aneh.
“Tito suka banget sama Bu Aini. Bu Aini cantik banget sih. Jadi Tito bisa ngeliatnya dari dekat deh.” Kataku sambil senyum-senyum menghindari tatapan mata Ibuku. Kalimat itu seolah lepas begitu saja dari mulutku.
“Haahhh? Bu Aini cantik? Idihh, siapa nih yang ngajarin anak Ibu genit-genit gini?” kata Ibu dengan tersenyum lebar seolah ingin tertawa. Dia sungguh tidak percaya dan kaget akan apa yang didengarnya ini.
“hayoo… anak Ibu mulai genit ya. Udah tau yang mana cewe yang cantik nih anak Ibu.” Sambung Ibu lagi. Dia tersenyum padaku sambil menatap dengan wajah yang amat menggoda.
Aku hanya tersenyum malu sementara dia terus menggodaku sambil memencet-mencet hidungku. Aku hanya tertawa malu-malu.
Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke arahku sambil berbisik menggoda, “Terus menurut Tito cantikan mana, Ibu atau Bu Aini?”
Aku yang antara gugup dan malu-malu dengan percaya diri mengatakan, “Ibu cantik sih, tapi masih cantikan Bu Aini dikit Bu…”
“Hahh? Kalah cantik dong Ibu! Walaupun dikit. Hihihi…” katanya sedikit memelas tapi akhirnya tertawa juga.
“Ini siapa nih yang ngajarin anak Ibu jadi genit? Si Rama?” sambungnya.
“Ihh, kok jadi si Rama sih? Si Rama kan baik Bu, gak mungkinlah si Rama ngajarin Tito genit-genitan.” Kataku membela sahabatku.
“Ah, yang Ibu liat malah Rama matanya sama kayak Tito, jelalatan kalo udah liat cewe cantik.” Kilah Ibuku.
“Lho? Ibu tau dari mana Rama kayak gitu?” tanyaku penasaran.
Ibu seperti berpikir dan menjawab asal. “Ya… tau aja.”
“Ih, Ibu gosip-gosip nih.” Kataku menatapnya sinis.
“Heh, udah-udah! Cepat tidur. Biar cepat sembuhnya.” Katanya memutuskan pembicaraan. Dia lalu bangkit dan langsung sibuk menyiapkan acara tidur malam ini.
Ditariknya satu bantal di sandaranku yang bagian paling bawah dengan sangat perlahan agar tak ada guncangan di kepalaku. Itu akan digunakannya sebagai bantalnya tidur. Ditariknya selimutku ke atas sambil mengecup keningku.
“Selamat tidur ya anak Ibu.” Ucapnya.
“Ihh, Ibu bikin aku kayak anak kecil aja sih.” Rengekku.
Ibu hanya tertawa geli dan kemudian mengatur tempat tidurnya sendiri. Ditariknya kasur cadangan yang tergulung di sudut kamarnya, lalu digelarnya tepat di samping kanan ranjang. Diambilnya selimut dari dalam lemari pakaiannya dan diapun bersiap untuk tidur.
Dia sudah terbaring menyamping ke arahku dan menutup matanya. Sementara aku masih belum menutup mataku walau aku sebenarnya sudah mengantuk. Aku ingin terus memandanginya.
Tiba-tiba matanya terbuka dan melihatku. “Kok masih belum tidur?”
“Eh, hehe… iya Bu. Emm… Selamat tidur Bu…”
Dia memandangiku sesaat, tersenyum, dan berkata, “Selamat tidur juga Tito anakku.”
Kali ini entah kenapa aku menerima ucapan selamat tidur itu. Aku balik tersenyum memandangnya dan barulah aku memejamkan mataku. Tertidur.
***
Bersambung…
“Dimana aku?” Aku bertanya-tanya di dalam hati akan keberadaanku sekarang.
Di hadapanku sekarang ada sebuah rumah. Dari bentuknya persis seperti rumahku. Dikelilingi tanaman dan beberapa pohon rindang. Di depan rumah ini, tepatnya di teras, aku bahkan melihat tempat duduk rotan yang biasa aku duduki di kala melepas penat setelah pulang sekolah. Ya, ini memang rumahku.
“Apa yang kulakukan di luar sini?”
Langit juga sangat gelap seperti akan segera turun hujan yang sangat lebat. Awan-awan bergumpal seakan sedang menuju ke arahku.
“Hanya perasaanku aja atau aku memang sedang merasakan sesuatu yang agak aneh?” Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Semua tampak sepi dan begitu senyap.
“Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku masuk aja deh, lagian udah mau hujan.” Aku berlenggang dengan santainya sampai teras rumah.
Kuputar gagang pintu depan seperti biasa sambil berkata, “Bu! Tito pulang Bu!”
“Eh? Kok nggak dikunci?” pintunya terbuka begitu saja.
Aku terkejut dengan apa yang kulihat kemudian. Sungguh aneh. Saat ini Ibu sedang bertekuk lutut ke pintu depan. Bisa dibilang ke arahku. Sambil mengeluarkan air mata yang seolah-olah tidak berhenti. Terus mengalir membasahi kedua pipinya. Namun wajahnya tidak seperti orang menangis, malah seperti orang yang diam tanpa ekspresi. Matanya menatap kosong ke arahku. Begitu pula aku yang masih terdiam terpaku menatapnya.
Sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa agak jauh di belakangnya ada seseorang yang sedang berdiri. Seorang laki-laki dewasa berpakaian putih sedang berdiri tepatnya di depan pintu kamar Ibu. Dia juga menatapku. Tapi dengan tatapan yang sangat tajam. Aku jadi takut dibuatnya.
“Ibu kenapa? Siapa dia Bu? Apa yang dia lakuin sama Ibu?” Aku tiba-tiba membanjiri Ibu dengan pertanyaan. Tapi Ibu tetap seperti itu, diam menatapku dan mengeluarkan air mata.
Kuberanikan diri untuk maju. “Lho, kok? Kakiku?”
Aku rasanya sudah melangkah tapi kedua kakiku tetap diam di tempat. Aku seperti lumpuh. Kakiku berat sekali. Aku terus berusaha mengangkat, tapi tetap tak bisa maju walau hanya se-inchi.
“Aduh! Kenapa ini?” pikiranku kalut. Sementara mereka berdua masih diam tak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Hei! Siapa kamu!? Kamu apain Ibu aku? Jangan coba-coba ganggu Ibuku ya! Atau aku panggil semua orang-orang kampung sini buat mukulin kamu!” aku meneriakinya sambil terus mencoba mengangkat kakiku. Namun hasilnya tetap nihil. Sementara pria itu masih saja menatapku tajam.
Sesaat kemudian kulihat Ibu mengulurkan tangannya padaku, namun masih dengan mimik wajah yang sama. Aku yang masih menatapnya aneh, refleks mencoba mengulurkan tanganku juga. Namun yang terjadi selanjutnya malah lebih parah. Kedua tanganku pun tak bisa digerakkan.
“Ada apa sih ini? Kok tangan sama kakiku nggak bisa gerak begini? Aku kenapa nih?” pikiranku semakin panik saja.
“Bu! Tito kenapa nih Bu!? Tangan sama kaki Tito nggak bisa gerak nih! Tolongin Tito Bu!” aku hanya bisa berteriak minta tolong ke Ibu karena keadaanku sekarang.
“Bu! Tol….” Belum selesai teriakanku ke arah Ibu, perhatianku teralihkan ke pria berbaju putih itu.
Kali ini dia menggelengkan kepalanya dengan tegas. Terus-menerus dan tidak berhenti. Entah apa maksudnya sebenarnya. Aku jadi bingung. Bahkan rasa bingungku mengalahkan rasa panikku yang tadinya sangat menghantuiku.
Cukup lama dia menggeleng. Ketika gelengan kepalanya berhenti dia langsung berbalik badan dan berjalan perlahan menuju ke belakang rumah.
Aku tak mau membiarkannya pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa-apa. Namun apa daya, kedua kaki dan tanganku tak berdaya. Aku hanya bisa berteriak memanggilnya.
“Hei! Tunggu! Kamu siapa!? Tunggu! Jangan pergi dulu! Kamu apain Ibuku!? Kenapa Ibuku bisa nangis!? Tunggu! Hei…!” aku terus saja berteriak.
Hingga…………
“Hei!” Aku berteriak dalam posisi yang lain. Kali ini aku sedang berbaring. Tapi kali ini dalam keadaan terang benderang. Cahaya dari lampu bohlam berwarna kekuningan menerpa mataku. Dengan mataku yang agak menyipit karena cahaya lampu, aku mencoba menatap sekitar.
“Kurasa ini masih di rumahku.” Pikirku.
“Tito nggak apa-apa Nak? Kok teriak-teriak sayang? Gimana kepalanya? Sebelah mana yang sakit?” Tanya seseorang di sebelahku tanpa henti. Sepertinya suara wanita.
“Eh, ini kan suara Ibu?” pikirku.
Setelah kufokuskan penglihatanku ke sekitar, akhirnya terlihatlah semua dengan jelas, yang dihadapanku memang Ibu. Dan aku sekarang sedang berbaring di atas tempat tidurnya, di kamarnya.
“Tito nggak apa-apa Nak? Kepalanya terasa sakit? Apa yang Tito rasain sekarang Nak? Ayo bilang sama Ibu.” Tanya Ibu sambil mengelus-elus kepalaku. Dia sekarang duduk di atas ranjang, tepat di sampingku.
“Oh iya! Aku tadi kan jatuh? Pantes aja kepalaku terasa sakit sekarang.” Pikirku lagi.
Kupegangi kepalaku yang memang terasa masih sakit. Kurasakan ada perban di sana. Itu berarti kepalaku sempat berdarah tadi.
“Oh udah sadar si Titonya Yat? Nih air angetnya udah disiapin.” Potong seorang wanita yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar membawa secangkir penuh air putih hangat.
Aku tak menyangka wanita ini akan hadir di sini. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas sekarang dua dari tiga wanita pujaan hatiku ada di dekatku sekarang ini. Wanita yang menempati peringkat pertama di hatiku dan pikiranku, Ibuku sendiri dan wanita yang berada di peringkat kedua, Bu Aini, Ibu dari sahabat baikku, Rama.
Jika harus menilai dan membandingkan antara kecantikan Ibuku dan Bu Aini, aku pasti akan sangat-sangat kesulitan. Mereka punya paras dengan keunggulan sendiri-sendiri. Ibu sahabatku ini punya hidung yang sedikit lebih mancung dari Ibuku dan kulit yang lebih cerah. Bahkan kalau masalah kecantikan, Bu Aini ini bisa dibilang sedikit lebih cantik dari Ibuku. Tapi Ibuku punya wajah yang sangat-sangat manis dan punya kesan seksi. Apalagi jika sedang tersenyum membuatku mabuk kepayang.
Masalah perbandingan tubuh mereka sungguh sebelas dua belas. Aku tidak tahu kalau harus membandingkan dan memilih yang mana yang lebih baik. Mereka sama-sama punya dada yang cukup besar beserta pantat yang padat berisi. Walaupun Bu Aini memakai jilbab dalam kesehariannya, aku bisa melihat dan membandingkan ukuran buah dadanya dengan milik Ibu. Karena jilbab yang selalu dipakainya adalah model jilbab segitiga sederhana seperti yang dipakai para gadis remaja. Ditambah lagi bagian bawah jilbabnya yang menutupi bagian dadanya selalu disampirkannya ke kanan dan ke kiri sehingga bentuk payudaranya terekspos dengan sempurna. Bu Aini juga terkadang memakai rok panjang yang agak ketat di bagian pinggulnya sehingga aku bisa menerka seberapa bagusnya pantatnya.
“Nih Yat, kasih minum dulu si Tito, biar enakan.” Ujar Bu Aini menyodorkan air minum kepada Ibu. Lantas air minum itu disodorkan lagi oleh Ibu kepadaku.
“Ini Nak, diminum dulu airnya.” Kata Ibu sambil menopang bagian belakang kepalaku dengan tangan kirinya untuk lebih tegak.
Aku berusaha untuk membangkitkan kepalaku, tapi rasanya semakin sakit saja jika dipaksa untuk ditegakkan. Padahal menggerakkannya sudah cukup perlahan, tapi tetap saja sakit.
“Aduh, nggak bisa Bu. Kepala Tito masih sakit banget buat digerakin.” Keluhku. Ibu pun menurunkan kepalaku berbaring kembali di atas bantal.
“Sakit Nak? Jadi gimana caranya kalo mau minum atau makan?”
Ibu tampak bingung melihat keadaanku yang sedang meringis sekarang sambil memegangi kepalaku. Dia menatapku dan Bu Aini yang sekarang sedang berdiri mematung. Bu Aini juga sedikit mengernyitkan dahinya pertanda dia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sejenak Ibu berpikir dan menawarkan ide. “Gimana kalo bantalnya ditambah aja, Tito mau? Dibikin tiga lapis aja biar punggungnya Tito lebih tegak, ya?
Mataku menatapnya sayu, lalu hanya bisa mengangguk pelan mengiyakan sarannya.
“Ya udah, sebentar ya Ibu ambilin dulu bantal tambahannya dari kamar Tito.”
Ibu pun segera beranjak keluar ke kamarku untuk mengambil bantal. Meninggalkan kami berdua di kamarnya. Bu Aini hanya tersenyum melihatku seakan memberi kekuatan baru. Dia lalu duduk di sebelah kakiku.
“Bu Aini memang cantik.” Batinku.
“Tapi Rama kok tampangnya pas-pasan amat ya? Beda jauh sama Ibunya. Oh, mungkin keturunan Bapaknya yang punya tampang pas-pasan juga. Hehehe…” Aku masih sempat-sempatnya berpikir yang enggak – enggak terhadap temanku itu di saat seperti ini. Padahal Bapaknya Rama belum terlalu lama meninggal. Masih sekitaran 2 tahun yang lalu.
Bapaknya Rama yang kutahu waktu itu bekerja di perkebunan sawit di luar provinsi. Dia hanya sesekali pulang ke rumahnya. Rumah Rama tidaklah terlalu besar. Tergolong rumah sederhana seperti rumah kami, rumah permanen dengan dua kamar tidur seperti pada umumnya di desa itu. Tapi kedua orang tuanya punya uang yang cukup mumpuni untuk membeli barang-barang bagus. Contohnya gelang dan cincin emas yang sering dipakai Bu Aini, perabotan rumahnya yang bagus, juga sepeda milik Rama yang dulu sering dipinjamkannya padaku. Katanya itu sepeda berkualitas terbaik bahkan untuk anak-anak orang elit di kota besar.
Tapi semenjak kematian Bapaknya 2 tahun lalu, praktis Bu Aini juga berperan layaknya Ibuku, single parent yang harus berjuang menafkahi anak semata wayangnya. Kebetulan Rama juga seorang anak tunggal.
Bedanya Bu Aini dengan Ibuku adalah Bu Aini punya modal yang cukup untuk merintis usaha. Itu didapatnya dari uang tabungan dan asuransi jiwa suaminya, uang tabungannya sendiri dan perhiasannya, ditambah lagi bantuan dari pamannya yang ada di luar kota. Sehingga sekarang ini mereka punya toko sembako kecil-kecilan di pasar yang dikelola oleh Bu Aini sendiri berikut beberapa kuli yang diperkerjakannya.
Aku sudah menganggap Rama sebagai saudaraku sendiri, berikut juga Bu Aini yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Kupikir Ibu juga menganggap mereka begitu. Merekalah ‘keluarga’ terdekat kami sekarang. Mungkin karena pertemananku dengan Rama sejak kecil membuat kedua keluarga kecil ini terasa saling memiliki.
“Rama mana Bu? Kok nggak keliatan dari tadi?” aku sedikit bertanya padanya. Berbasa-basi.
“Oh, Rama nggak bisa ikut. Katanya pantatnya masih sakit kalo buat jalan jauh.” Ujar Bu Aini.
“Oh, gitu ya Bu.” Jawabku datar. Rama memang sudah jarang berkunjung ke rumahku akhir-akhir ini.
“Ah, mungkin karena dia ngebantu Ibunya.” Pikirku maklum.
Jarak dari rumahku ke rumah Rama sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Walaupun rumah kami ada di gang yang berbeda. Ada satu jalan besar yang menuju ke pasar dan sekaligus ke kota. Kalau aku dan Ibu akan menjual gorengan kami pasti melewati gang rumahnya Rama. Bahkan dari mulut gangnya kami bisa melihat rumahnya. Rumah Rama tidak terlalu jauh dari simpang gang yang lumayan lebar itu. Sementara rumah kami ada di gang sebelumnya dan agak jauh masuk ke dalam.
Di dalam gang rumahku hanya ada tiga rumah. Rumahku berada di paling ujung jalan. Ditambah lagi bangunan rumahku sedikit jauh dari pinggir jalan gang membuat rumahku seperti tersudut dan terasing sendiri.
Sebenarnya gang rumahku itu bukanlah murni gang yang buntu. Gang rumahku itu punya terusan berupa jalan kecil yang jika disusuri terus bisa jadi tembusan ke kampung sebelah. Tapi sangatlah jarang orang-orang menggunakan jalur itu untuk ke kampung sebelah, warga desa lebih memilih melalui jalan yang melewati kantor kelurahan yang lebih ramai dan banyak kegiatan ekonominya.
Jalan kecil itu dulunya digunakan almarhum kakekku untuk ke kebun dan pematang sawahnya. Aku dan Rama juga sekali-kali melaluinya untuk mandi di sungai dan main ke rumah teman-teman kami di kampung sebelah. Namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang karena aku sering sibuk membantu Ibu berjualan. Rama juga sering membantu Ibunya di toko mereka. Baru tadi pagilah kami sedikit jalan-jalan ke sungai yang rencananya akan kami akhiri dengan mandi-mandi di sungai di hari Minggu yang cerah. Tapi apa daya, nasib pahit malah menimpa pantat Rama dan alhasil batallah rencana kami bersenang-senang.
Tak lama Ibu muncul lagi dengan sebuah bantal di tangannya. “Ini bantalnya. Tito bangkit dulu biar Ibu tumpuk sama dua bantal yang punya Ibu.”
“Gimana Tito bisa bangkit sendiri Bu? Kepala Tito kan masih sakit?” keluhku.
“Ya udah, biar Ibu bantu. Bu Aini, emm… bisa minta tolong tumpukin bantalnya nggak Bu? Soalnya, ini… aku mau angkat badan si Tito nih.” Minta Ibu pada Bu Aini dengan sedikit grogi.
“Ah, nggak usah panggil Ibu kali Yat, panggil Aini aja. Masa udah lama kenal masih pake Ibu-ibuan. Lagian umur kita berdua kan juga hampir sama. Seterusnya panggil Aini aja ya.”
“Oh, hehe… Iya Bu, Eh! Aini.” Jawab Ibu latah.
“Hehe… ya udah, yuk! Sini biar aku yang atur bantalnya.” Kata Bu Aini sambil bangkit dari duduknya dan berdiri di samping tempat tidur. Kemudian meraih bantal di tangan Ibuku.
Ibu naik merangkak ke atas tempat tidur, membungkuk, lalu mencoba meraih punggungku dengan kedua tangannya. Ini membuat kedua buah dadanya yang masih tertutup daster tipis untuk mencuci piring tadi mengarah ke wajahku. Ketika dia menarikku bangkit, pipi dan bibirku jadi menempel di kulit dada kanannya yang tak tertutupi sempurna karena lingkar leher dasternya yang rendah.
Seketika saja hal itu membuat jantungku berdegup kencang dan memompa darah begitu banyak menuju kepalaku. Wajahku memanas dan kepalaku mulai berdenyut-denyut sakit. Tapi anehnya aku tetap saja meneruskan kemesumanku dan Ibu juga sepertinya tidak merasakannya. Mungkin karena dia sedang fokus mengurusku, anaknya yang sangat kurang ajar ini.
“Aduh, sakit banget! Kepalaku rasanya nyut-nyutan, kayak mau pecah aja!” teriakku dalam hati. Tapi aku tetap tak mengurungkan kegiatan ‘gila’ itu.
Aku bahkan mencoba sedikit-sedikit menarik nafasku mencium aroma buah dadanya. Dan kucoba lebih menekan bibirku di gundukan dadanya. Terasa sangat lembut karena bibirku mengenai kulit dadanya yang bagian atas yang bebas dari BH.
Kemaluanku tegang seketika di dalam celanaku. Untunglah masih tertutupi selimut, jadi tidak terlalu kelihatan ada ‘efek tenda’ dari luar. Aku merasa sangat tak nyaman dengan penis yang kembali mendobrak resleting celanaku. Walaupun aku sudah membiasakan menggunakan celana dalam setelah sunat, tapi kalau posisinya tegak begini jadi terasa ngilu.
Setelah bantal-bantal itu ditumpuk oleh Bu Aini, badanku pun diturunkan perlahan-lahan oleh Ibu. Badanku kini dalam posisi yang jauh lebih tegak dari yang tadi dan jadi lebih nyaman. Karena darah tak terlalu banyak mengalir ke kepalaku seperti ketika aku berbaring.
Kabar buruknya, kegiatan mesumku berakhir. Sementara kabar baiknya, kepala penisku yang sudah berontak dari tadi jadi lebih tenang dan ketegangan jadi berkurang.
“Gimana Nak? Udah agak enakan kepalanya?” Tanya Ibuku memastikan.
“Iya Bu, lebih enak posisi begini.” Jawabku yakin.
“Syukur deh kalo gitu. Nih diminum dulu airnya Nak. Ntar keburu dingin.” Kata Ibu sambil menyodorkan segelas air hangat tadi kepadaku.
Dengan cepat kuteguk segelas penuh air hangat itu sampai habis. Rasa sakit dan trauma otak karena kecelakaan tadi membuatku jadi begitu haus.
Setelah air itu habis, Ibu turun dari ranjang dan meletakkan gelas yang juga terbuat dari bahan kaleng tebal itu di meja rias tempat alat-alat kosmetik dekat lemari pakaian. Kemudian dia kembali duduk di tepi ranjang di samping kanan kepalaku, memperhatikanku sambil tersenyum dan mengelus kepalaku. Bu Aini juga ikut-ikutan duduk di dekat kakiku memberikan senyuman hangat padaku. Aku yang diperhatikan begitu khususnya oleh Bu Aini yang biasanya tak pernah sedekat ini, tak ayal membuatku sedikit malu juga.
“Oh, indahnya dua bidadari ini. Andai saja ini terjadi setiap hari, pasti aku orang paling bahagia di dunia.” Batinku.
“Tito mau Ibu ambilin lagi air hangatnya?” kata Bu Aini memecah keheningan.
“Oh, nggak usah Bu, makasih banyak.” Sahutku.
“Iya Bu. Nggak usahlah. Aku udah banyak ngerepotin Ibu lho.” Sambung Ibuku.
“Loh Yat? Kok panggil ‘Ibu’ lagi sih? Kan tadi udah dibilang ga usah pake Ibu-ibuan. Masih aja kamu kebawa-bawa kebiasaan lama. Kamu kan udah nggak nyuci lagi di rumah aku. Berarti aku bukan majikan kamu lagi sekarang. Toh waktu kamu masih nyuci di rumah aku aja kan aku udah nyuruh kamu jangan panggil ‘Ibu’, masih aja kamu ngeyel.” Omel Bu Aini panjang lebar.
Ibu yang sedang diomeli hanya tersenyum dan tertunduk malu sambil melirik ke arahku. Aku lucu sendiri melihat tingkah Ibuku ini. Dulu Ibu memang bekerja sebagai kuli cuci di rumah-rumah warga kampung sini. Salah satunya ya di rumah Rama alias rumah Bu Aini.
“Bu, ceritanya gimana sih kok Bu Aini bisa di sini?” tanyaku pada Ibuku.
Wajah Ibu yang tadinya cerah tiba-tiba jadi diam. Lambat laun wajahnya berubah jadi sangat sedih seperti ingin menangis. Dia menatapku lamat-lamat.
“Tadi Ibu takut banget kamu kenapa-napa Nak. Darah kamu tadi banyak banget keluarnya. Ibu betul-betul panik tadi.” Suara Ibu bergetar menjelaskannya.
Tiba-tiba terdengar isakan dari Ibu. Air matanya menetes. Namun ia tetap melanjutkan kronologinya. Bu Aini yang begitu prihatin kamudian tegak di samping Ibu, merangkul dan mengusap-usap bahu Ibu mencoba menenangkan.
“Hikss…hikss… Ibhh…Ibu takut banget Nak. Ibu pikir kamu kenapa-napa. Hiksss… Mana kamu tadihh… nggak nyahut-nyahut waktu Ibu panggil. Terus Ibu goyang-goyangin badan kamu, kamu diem aja… hikss… huuhuuhhuu…” Tangis Ibu semakin menjadi-jadi. Bu Aini memeluknya semakin erat.
Ibu pun membalas pelukannya dan tangisannya pun pecah di dalam dekapan Bu Aini. Air mata Bu Aini juga ikut-ikutan menetes. Aku yang sedang terbaring hanya bisa melihat dengan suasana hati yang tidak menentu.
Cukup lama tangisan Ibu berlangsung di dalam dekapan Bu Aini dan membuatku seperti mati gaya dan pikiranku seperti kosong. Aku tak menyangka Ibu sampai sebegitu kalutnya.
Ketika tangisannya mereda, Bu Aini melepaskan pelukannya, lalu membungkuk dan menghapus air mata Ibu sambil berkata, “sudah Yat, jangan diingat-ingat lagi. Kan ada aku di sini. Tito juga nggak apa-apa kan? Udah, jangan mikirin yang nggak-nggak lagi. Tuh liat, Tito jadi sedih juga tuh.”
Ibu menoleh ke arahku. Segera dia beranjak ke arahku kemudian mengecup keningku tepat disamping lukaku, mencium pipiku kiri dan kanan, dan kemudian menciumi punggung telapak tanganku berkali-kali. Lalu ditempelkannya telapak tanganku di pipi kirinya dan dia menangis lagi.
“Jangan tinggalin Ibu Nak… jangan tinggalin Ibu sayang… jang…hkss…hksss… jangan tinggalin Ibu ya Nak… hikss… Tito… anak Ibu… hikksss… hhh…” telapak tanganku basah oleh air matanya.
Tiba-tiba mataku seperti terendam di dalam air. Akhirnya aku menangis juga. Aku tak tahan melihat Ibu menangis dan memohon padaku.
“Ibu jangan nangis Bu, tolong jangan nangis. Hikss…hikkss… Tito nggak sanggup liat Ibu nangis. Tito nggak mau liat Ibu nangis. Tito mau… hhikkss… liat Ibu senyum terus. Bahagia terus sama Tito. Tito… hikss…hkss… nggak bakalan ninggalin Ibu. Tito janji Bu! Tito janji!” isakku dengan terus menatap wajahnya yang diselimuti haru.
Tiba-tiba, “NGUUUIIINGGG…!”
Kepalaku mendengung dan terasa sakit sekali. Tanganku di pipi Ibu terlepas. Mataku terpejam menahan rasa sakitnya. Mungkin ini dikarenakan emosiku yang naik tiba-tiba ketika menangis barusan.
“Aduh! Auhh! Sakit banget kepala Tito Bu!” seruku kesakitan. Aku hanya bisa mendengar suara Ibu dan Bu Aini yang panik.
“Eh! Aduh! Kenapa Nak!? Kepalanya sakit lagi ya!?” seru Ibu panik.
“Sebentar ya! Biar aku ambilin handuk sama air hangat.” Kata Bu Aini sigap ke dapur.
“Iya iya! Tolong ya Ni…” sambung Ibuku gelagapan.
Dalam sekejap Bu Aini sudah tiba lagi di kamar membawa handuk kecil dan sebuah baskom berisi air hangat. Dengan segera Ibu mengusap-usapkan handuk kecil lembab yang sudah dicelup ke dalam air hangat ke wajahku yang penuh air mata sambil mengelus-elus rambutku dengan lembut.
Semua usapan Ibu membuatku perlahan kembali rileks dan tenang. Sakit di kepalaku juga semakin berkurang. Perlahan kubuka mataku dan kulihat Ibuku tersenyum. Tapi dia tetap tak bisa menyembunyikan gurat-gurat kekhawatiran di wajahnya.
“Udah enakan kepalanya Nak?” tanyanya sedikit cemas. Diturunkannya baskom berisi air tadi ke bawah tempat tidur.
“Iya Bu, udah hilang sakitnya.” Jawabku juga dengan tersenyum padanya.
“Ini diminum lagi air angetnya To.” Bu Aini menyodorkan cangkir yang tadi yang kini sudah penuh lagi dengan air hangat.
“Gulpp…glukk…glukkk… Ahhh…” kuteguk airnya setengah cangkir dan kuberikan cangkirnya kembali ke Bu Aini.
“Huffhh…” Aku menghela nafas dalam-dalam sementara mereka berdua masih terduduk di tepi ranjang memperhatikanku. Beberapa menit berlalu. Cukup lama mereka menatapku membisu guna memastikan keadaanku selanjutnya.
“Tito capek banget nih Bu, jadi ngantuk.” Kataku memecah keheningan.
Mereka berdua sedikit tersentak dari pandangan kosongnya. Lalu Ibu pun menawarkanku untuk segera tidur.
“Ya udah, Tito tidur di sini aja ya. Biar Ibu temenin malam ini.” Katanya.
Beberapa detik kemudian Bu Aini pun bangkit dari duduknya dan mengucapkan salam perpisahan denganku.
“Tito cepat sembuh ya, jangan banyak-banyak bergerak dulu. Besok juga nggak usah sekolah dulu deh, takutnya lukanya nggak sembuh-sembuh malah makin parah lagi.” Anjurnya.
“Ibu pulang dulu ya To.”
“Iya Bu. Makasih banyak ya Bu.”
“Iya.” Jawabnya singkat.
“Ya udah, aku pulang dulu ya Yat.”
Ibuku pun tegak dari duduknya, menyalaminya, kemudian memeluknya sambil cipika-cipiki. Ibu berterima kasih terus-menerus seolah tiada hentinya.
“Makasih ya Aini. Aku nggak tau harus gimana ngebalesnya.”
“Udah, udah. Nggak usah dipikirin. Aku udah nganggap kalian itu keluarga aku sendiri. Jadi jangan sungkan-sungkan minta bantuan apapun ya.” Ujar Bu Aini.
“Kamu baik banget Aini. Mudah-mudahan Tuhan membalas semua kebaikan kamu. Rama juga semoga cepat sembuh ya.”
“Iya, iya. Amin. Ya udah, aku pulang dulu ya.”
“Iya.” Jawab Ibuku dengan senyumnya yang mengembang.
Mereka pun berjalan keluar dari kamar dan selama perjalanan ke pintu depan Ibu tetap saja terus-terusan berterima kasih. Hingga tak lama kemudian kudengar pintu depan terkunci. Kulihat waktu di jam dinding sudah menunjukkan pukul 10.15 malam. Ibu kembali ke dalam kamar setelah mengerjakan sesuatu di dapur. Mungkin merapikan dapur yang sedikit berantakan karena Bu Aini mengambil air tadi.
“Lho? Anak Ibu kok belum tidur? Katanya tadi ngantuk.” Tanya Ibu padaku yang sudah duduk disampingku. Aku hanya tersenyum saja.
“Bu, Tito mau nanya nih, boleh nggak?”
“Mau nanya apa sih? Ya udah, abis Ibu jawab Tito tidur ya.”
“Iya Bu. Emm… tadi kok Ibu minta tolongnya ke Bu Aini? Kok nggak ke tetangga yang paling dekat aja? Kayak Bu Halimah sama Pak Imron atau Bi Siti sama Bang Baim yang di simpang gang?”
“Kamu taulah keluarga Pak Imron sama Bu Halimah. Mereka berdua kan punya ternak sama sawah yang harus diurusin setiap hari. Liat tuh, ngurusin ayam-ayam mereka aja mereka pasti udah capek banget kan? Biasanya rumahnya aja jam 8 udah sepi aja tuh. Dah pada tidur mungkin. Kalo Bi Siti kan udah agak tua, masa disuruh ngangkat-ngangkat badan Tito.”
“Terus si Baim anak Bi Siti kan tiap hari kerjaannya ngangkut barang pake pick-up ke luar kota. Pulangnya juga sore banget. Kan pasti capek. Lagian Ibu nggak enak dong, masa sama laki-laki.” Sambungnya lagi.
“Iya juga ya Bu. Hehe…” jawabku cengengesan.
“Lagian di kampung ini kan yang paling dekat sama Ibu Cuma Bu Ratmi sama Bu Aini. Bu Ratmi rumahnya kan jauh. Jadi ya terpaksa Bu Aini deh.” Lanjut Ibuku.
“Oh, gitu ya Bu. Bagus deh kalo gitu.” Kataku santai.
“Hmm? Bagus apanya?”
“Ya, bagus aja kalo Bu Aini yang datang ke sini. Tito jadi nggak usah repot-repot datang ke rumahnya atau ke tokonya.”
“Lho? Memangnya kenapa?” Tanya Ibu penasaran.
“Iya. Emm… ya… gitu deh pokoknya.” Aku jadi salah tingkah.
“Gitu apanya?” tanyanya semakin menyelidik. Dahinya mengernyit mendengarkan cara bicaraku yang semakin aneh.
“Tito suka banget sama Bu Aini. Bu Aini cantik banget sih. Jadi Tito bisa ngeliatnya dari dekat deh.” Kataku sambil senyum-senyum menghindari tatapan mata Ibuku. Kalimat itu seolah lepas begitu saja dari mulutku.
“Haahhh? Bu Aini cantik? Idihh, siapa nih yang ngajarin anak Ibu genit-genit gini?” kata Ibu dengan tersenyum lebar seolah ingin tertawa. Dia sungguh tidak percaya dan kaget akan apa yang didengarnya ini.
“hayoo… anak Ibu mulai genit ya. Udah tau yang mana cewe yang cantik nih anak Ibu.” Sambung Ibu lagi. Dia tersenyum padaku sambil menatap dengan wajah yang amat menggoda.
Aku hanya tersenyum malu sementara dia terus menggodaku sambil memencet-mencet hidungku. Aku hanya tertawa malu-malu.
Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke arahku sambil berbisik menggoda, “Terus menurut Tito cantikan mana, Ibu atau Bu Aini?”
Aku yang antara gugup dan malu-malu dengan percaya diri mengatakan, “Ibu cantik sih, tapi masih cantikan Bu Aini dikit Bu…”
“Hahh? Kalah cantik dong Ibu! Walaupun dikit. Hihihi…” katanya sedikit memelas tapi akhirnya tertawa juga.
“Ini siapa nih yang ngajarin anak Ibu jadi genit? Si Rama?” sambungnya.
“Ihh, kok jadi si Rama sih? Si Rama kan baik Bu, gak mungkinlah si Rama ngajarin Tito genit-genitan.” Kataku membela sahabatku.
“Ah, yang Ibu liat malah Rama matanya sama kayak Tito, jelalatan kalo udah liat cewe cantik.” Kilah Ibuku.
“Lho? Ibu tau dari mana Rama kayak gitu?” tanyaku penasaran.
Ibu seperti berpikir dan menjawab asal. “Ya… tau aja.”
“Ih, Ibu gosip-gosip nih.” Kataku menatapnya sinis.
“Heh, udah-udah! Cepat tidur. Biar cepat sembuhnya.” Katanya memutuskan pembicaraan. Dia lalu bangkit dan langsung sibuk menyiapkan acara tidur malam ini.
Ditariknya satu bantal di sandaranku yang bagian paling bawah dengan sangat perlahan agar tak ada guncangan di kepalaku. Itu akan digunakannya sebagai bantalnya tidur. Ditariknya selimutku ke atas sambil mengecup keningku.
“Selamat tidur ya anak Ibu.” Ucapnya.
“Ihh, Ibu bikin aku kayak anak kecil aja sih.” Rengekku.
Ibu hanya tertawa geli dan kemudian mengatur tempat tidurnya sendiri. Ditariknya kasur cadangan yang tergulung di sudut kamarnya, lalu digelarnya tepat di samping kanan ranjang. Diambilnya selimut dari dalam lemari pakaiannya dan diapun bersiap untuk tidur.
Dia sudah terbaring menyamping ke arahku dan menutup matanya. Sementara aku masih belum menutup mataku walau aku sebenarnya sudah mengantuk. Aku ingin terus memandanginya.
Tiba-tiba matanya terbuka dan melihatku. “Kok masih belum tidur?”
“Eh, hehe… iya Bu. Emm… Selamat tidur Bu…”
Dia memandangiku sesaat, tersenyum, dan berkata, “Selamat tidur juga Tito anakku.”
Kali ini entah kenapa aku menerima ucapan selamat tidur itu. Aku balik tersenyum memandangnya dan barulah aku memejamkan mataku. Tertidur.
***
Bersambung…
9 years ago