Ibuku Cintaku
Episode 1
Menjadi seorang Ibu dan istri yang ditinggal Suami bukanlah hal yang mudah bagi Yati, seorang wanita berusia 32 tahun yang kesehariannya menjual gorengan dan kuli cuci untuk menafkahi anak semata wayangnya yang masih berusia 12 tahun. Sudah lama Yati dan anaknya Tito ditinggal pergi merantau oleh sang kepala keluarga, Dewo. 12 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka untuk tidak merasakan peran sebagai istri dan anak yang baik oleh Dewo. Tidak pernah ada kabar secuilpun dari suaminya yang seolah-olah ditelan bumi. Kini Yati sudah pasrah akan keberadaan suaminya. Mungkin memang beginilah takdirnya. Berperan sebagai single parent untuk Tito yang bahkan sama sekali tak mengingat wajah Bapaknya itu karena Dewo sudah meninggalkannya sejak masih bayi.
Dengan pekerjaannya sekarang, Yati terbilang tidak begitu sulit dalam hal keuangan. Dulu memang dia sangat terpuruk ketika harus memikirkan cara menghidupi anaknya yang masih bayi. Sebagai wanita yang hanya tamat SMP membuatnya sangat sulit mencari pekerjaan yang layak. Ditambah lagi dia sudah tak punya sanak saudara yang bisa membantunya. Jarak rumahnya yang jauh dari kota besar juga semakin mempersulit keadaan. Dia tidak bisa meninggalkan rumahnya. Itu adalah satu-satunya warisan orang tuanya padanya dan sekaligus merupakan satu-satunya tempat dia bernaung. Uang warisan dari penjualan sawah orang tuanya juga sudah tinggal sedikit. Namun dia sangat tertolong ketika Bu Ratmi, istri kepala desa kebetulan bertemu dengannya di pasar tradisional setempat. Yati menceritakan segalanya padanya dan membuat Bu Ratmi sangat-sangat iba. Lalu ditawarkannya pekerjaan sebagai kuli cuci di rumahnya yang langsung diterima Yati dengan luapan kegembiraan. Bu Ratmi mengatakan bahwa bantuan itu tidaklah seberapa dibanding jasa orang tua Yati yang telah banyak membantu keluarganya dulu.
Desa tempat mereka tinggal bukanlah desa yang besar. Kebanyakan profesinya adalah sebagai petani, peternak, ataupun pedagang di pasar tradisional. Berkat peran dan koneksi Bu Ratmi yang kuat di desa itu dan desa tetangga, Yati tidak hanya mencuci di rumah Bu Ratmi saja, tapi juga di beberapa rumah lain yang sangat membutuhkan seorang kuli cuci. Hal itu membuat kondisi keuangannya semakin membaik dan membaik hingga dia bisa menyekolahkan anaknya dengan layak sampai kelas 6 SD sekarang ini. Yati juga menambah penghasilannya dengan menjual gorengan di dekat pasar tradisional ketika lewat tengah hari. Karena kesibukannya yang baru itu pula dia sudah tidak lagi bekerja di rumah-rumah warga lain sebagai kuli cuci, hanya di rumah Bu Ratmi saja. Dia terlalu lelah jika harus tetap menjalankan semuanya sekaligus. Ditambah lagi dia juga harus punya waktu luang yang lebih banyak untuk anak kesayangannya Tito.
Tito adalah anak yang sangat rajin dan berbakti di matanya. Selalu membantunya setiap waktu. Membantu membawa bahan gorengan ke pasar pulang dan pergi, membantu membereskan pekerjaan rumah, bahkan membantunya dalam masak-memasak untuk makanan mereka sehari-hari. Di tengah kesibukannya itu Tito tetap melakukan kewajibannya, belajar dengan sangat tekun. Untunglah sekarang ada listrik yang masuk ke desa ini sehingga dia tak perlu bersusah payah seperti dulu yang mana untuk belajar dan mengerjakan PR sekolahnya di dekat lampu petromak yang harus dipompa terus ketika cahayanya redup.
Senja baru tenggelam. Waktu menunjukkan pukul 07.30 malam. Suasana hening sudah menyelimuti desa itu sejak pukul 06.00 sore. Di sebuah rumah yang sangat sederhana itu seorang Ibu dan anaknya sedang makan malam dengan lahapnya. Kadang diselingi canda tawa akan pengalaman-pengalaman seru dan lucu yang mereka lalui sepanjang hari. Kebanyakan cerita-cerita itu datang dari Tito anaknya. Yati hanya tertawa kecil sesekali menanggapi cerita anaknya yang tampak seru itu.
***
“Wah, Ibu pakai daster kesukaanku nih. Mana Ibu makin keliatan cantik lagi kalo rambutnya dikuncir gitu. Mirip gayanya Bu Dina.” Aku terus berkomentar dalam hati melihat penampilan Ibu malam ini.
Wajah cantik, kulit kuning langsat nan mulus, rambut sebahu dilengkapi poni menyamping, membuatnya sangat sedap dipandang. Didukung dengan dada lumayan besar ditambah tubuhnya yang masih proporsional melengkapi keindahannya. Tidak ada lemak yang menutupi tubuhnya. Sangat padat dan kencang. Mungkin karena dia baru punya satu anak. Ditambah lagi pekerjaannya yang begitu banyak menguras tenaga membuat lemaknya terkuras dan kecantikannya tetap terjaga.
Ibu sedang makan dengan lahap bersamaku di meja makan kami yang kecil ini. Dia duduk di sebelah kananku. Bibirnya yang sedang mengunyah dan sesekali tersenyum ke arahku membuatku sangat suka memandanginya.
“Dimakan dong Nak. Masa dari tadi Cuma liatin Ibu makan aja kerjaannya. Sambal ikannya kepedesan ya?” Cecarnya membuyarkan pandanganku di bibirnya.
“Eh, Ngg… Nggak kok Bu, pedesnya pas.” Jawabku gugup sambil menyuapkan nasi asal-asalan ke dalam mulutku.
Ibu tersenyum lebih lebar dengan bibirnya yang kini sedikit berkilau karena minyak dari sambal dan kemudian meneruskan acara makannya. Ada serpihan cabe yang kulihat menempel di bibirnya.
“Emm… Bu! Sebentar deh…”
“Hmmm?” Sahutnya ke arahku dengan mulut masih tetap mengunyah.
Dengan agak gemetaran tanganku hinggap di bibirnya sambil menyeka serpihan cabe ‘berkah’ itu. “Ini Bu, ada cabe. Ibu makannya kayak anak kecil nih, belepotan.”
Saat itu juga dia menelan makanan yang sudah dikunyahnya dan kemudian tertawa kecil sambil menatapku lucu. Sekarang malah dia yang berganti mengusap-usap bibirku. “Tito bilangin Ibu belepotan tapi Tito sendiri makannya kayak anak balita yang baru belajar makan sendiri. Liat nih nasinya pada berserakan gini di mulut, malahan sampai ke dagunya, hihihi…”
Aku semakin gugup ketika sekarang malah dia yang mengusap-usap bibirku. Tangan dan jari-jari Ibu terasa bagai anugerah surgawi bagiku. Waktu terasa sangat lama berlalu saat dia menyeka bibir kecilku bergantian, ke kanan dan ke kiri. Betapa indahnya.
“Udah, lanjutin lagi makannya. Atau mau Ibu suapin?” Tawarnya sambil tersenyum untuk kesekian kalinya setelah selesai acara usap-usapan.
“Eh, emang boleh Bu?” Kataku dengan mata yang mungkin sudah berbinar-binar.
Padahal sudah sangat sering aku disuapi olehnya. Tapi rasanya malam ini terasa lain.
“Ya bolehlah, Kayak kemaren-kemaren nggak pernah Ibu suapin aja. Sini mulutnya, aaakkk….” Katanya sambil bersiap menyuapkan sesendok makanan yang sudah penuh dengan lauk dan sayur.
“Ammmm…” Lanjutnya sambil tersenyum ketika makanan sudah masuk ke dalam mulutku.
Dengan cepat kukunyah makanan itu sambil tak bosan-bosannya menatap wajahnya. Tangannya sibuk menyendok suapan berikutnya yang akan disuapkan lagi ke dalam mulutku.
Suapan pertama akhirnya tandas ke tenggorokanku. Namun ketika dia akan menyodorkan suapan lagi aku sedikit protes. “Bu! Jangan pake kata-kata ‘Ammm…’ kenapa sih? Tito kan malu. Kayak anak bayi aja.” Sungutku.
“Hihihi… Oh iya ya, anak Ibu kan udah besar ya, udah 12 tahun. Iya deh, nggak Ibu gituin lagi. Ya udah, nih lagi Nak.” Katanya sambil menyodorkan suapan berikutnya yang langsung kusambut dengan antusias.
“HHAAAMMM…NYAMM…NYAMM… Enak sayangku… Anakku sayang…” Katanya sambil membelai pipiku. Dia pun tertawa geli.
“Mmmm…! Nggg…! mmhh…!” Gumamku dengan keras.
Aku tak bisa menuturkan kekesalanku dengan jelas karena mulutku yang terisi penuh ini. Ibuku memang bermaksud menggodaku, dan itu berjalan sukses. Namun ada benih-benih kebahagiaan yang tertebar dibalik godaan-godaan Ibu itu. Aku merasa sangat nyaman sekaligus membuat jantungku berdebar-debar. Seperti ketika aku menatap Bu Dina, guruku di sekolah. Namun dia adalah orang ketiga dari tiga orang yang berhasil menarik hatiku. Tentu tempat yang pertama adalah Ibuku.
Entah sejak kapan aku mulai terpesona dan berpikiran mesum pada kecantikan Ibu. Mungkin semenjak kelas 5 SD. Tapi sepertinya perasaan itu semakin dalam ketika aku disunat sekitar lima bulan yang lalu. Betapa nikmatnya saat-saat itu. Aku begitu dimanjakan Ibu. Dia bahkan tidak jualan gorengan selama dua minggu. Dia sengaja pulang cepat dari pekerjaannya mencuci baju, melayani kebutuhanku, menyuapiku makan, bahkan memandikanku. Sungguh bahagia saat-saat itu. Terutama ketika Ibu memandikanku.
Hari pertama setelah aku disunat memang saat-saat yang dramatis. Tepatnya saat buang air. Ketika cebok selangkanganku terasa bagaikan disambar petir. Perihnya luar biasa. Ditambah lagi di dekatku ada Ibu yang setia menemaniku menambah penderitaanku. Penisku entah kenapa semakin menegang ketika melihatnya. Wajahnya, dadanya, pantatnya yang sedang berjongkok membuatku pusing tujuh keliling.
Padahal dia cukup panik dan sangat iba melihatku waktu itu di dalam kamar mandi, kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Dia hanya sanggup mengatakan, “Sakit banget Nak? Aduh Tito, jangan takut-takutin Ibu dong. Ibu jadi cemas nih. Tahan ya Nak ya, lusa kan kata Pak Dokter puskesmas udah bisa dilepas perbannya.” Ujarnya saat itu dengan mata berkaca-kaca. Dia juga hampir menangis melihat keadaanku.
Begitu sayangnya dia padaku hingga dia memelukku dengan eratnya waktu itu. Kepalaku tepat berada di buah dadanya. Wajahku menempel dengan sempurna di kedua gunung kembar miliknya. Berdua di dalam kamar mandi, dalam keadaan aku tanpa celana dan Ibu memakai daster yang cukup tipis. Benar-benar mendebarkan.
Pada saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Aku merasakan kenikmatan dan kesakitan di saat yang sama. Penisku menegang tak karuan membuat pergesekan yang luar biasa dengan perban yang membalutnya. Tubuhku menegang dan mataku melotot. Tidak tahu apakah dikarenakan melihat dada Ibu dalam jarak yang sangat dekat atau karena kesakitan yang teramat sangat. Sungguh kenangan yang luar biasa.
“Kok senyum-senyum sendiri?” Kata Ibu menyadarkanku.
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata aku barusan mengunyah sambil melamunkan masa-masa itu. Membuat Ibu memperhatikanku dari tadi. Segera kutelan suapannya dan menceritakan hal lain.
“Ibu tau nggak? Tadi si Rama kepleset di pinggir sungai deket rumah Pak Karim itu. Mukanya waktu meringis lucu banget Bu. Katanya pantatnya terasa remuk gitu. Ibu kebayang nggak muka si Rama kayak apa waktu itu? Hahaha…”
“Haha… Eh, Tito nggak boleh lho kayak gitu. Dia kan temen Tito sendiri. Memang sih mukanya lucu, tapi dia kan lagi kesakitan. Kamu tolong dia kan?”
“Iya dong Bu, Rama kan temen Tito yang paling baik, masa nggak ditolong.”
“Nah, gitu dong anak Ibu, setia kawan.” kata Ibu sambil tersenyum bangga dan melanjutkan menyuapiku.
“Tapi muka si Rama waktu meringis Tito teringat terus Bu. Hahaha…” sambungku lagi sambil mengunyah. Mengingat-ingat wajah Rama yang seperti orang yang ingin buang air besar ketika pantatnya terhempas di batuan besar di pinggir sungai memang sangat lucu.
“Husss… Udah ah. Makan dulu. Nanti keselek lho ketawa terus.” celetuk Ibu.
“Hehe… Iya Bu.” Aku pun melanjutkan makan dan Ibu juga melanjutkan makannya sendiri sampai selesai dan kemudian Ibu mencuci piring-piringnya.
Tempat mencuci piring di rumah kami adalah juga tempat di mana kami mencuci pakaian. Sepetak lantai semen berukuran 1×1,5 meter yang terletak di belakang bagian luar rumah. Tepat di sebelah pintu belakang. Sekeliling bagian belakang rumah kami dikelilingi pagar setinggi 2 meter yang terbuat dari papan dan dilapisi oleh seng bekas. Cukup tinggi untuk menutupi bagian belakang rumah. Pagar itu dibuat karena ayam-ayam tetangga yang cukup jauh dari rumah kami gemar sekali memporakporandakan semua yang ada di belakang rumah. Tanaman Ibu, makanan sisa di piring kotor, bahkan pakaian-pakaian kami sering kena kotoran mereka.
Sementara apabila ingin mencuci piring atau pakaian, kami harus berjongkok atau menggunakan semacam tempat duduk kecil berupa dengklik. Cukup melelahkan memang. Seperti apa yang kulihat sekarang ini. Melihatnya mencuci piring akupun tergerak maju dan berinisiatif untuk membantunya.
“Sini Bu, Tito bantu.” tawarku padanya. Aku sudah memegang sebuah piring dan bersiap untuk membasuhnya.
“Eh, Tito ngapain? Udah nak, nggak usah. Biar Ibu aja yang cuci piringnya. Tito belajar sana. Ada PR kan?” tolaknya sembari meraih piring yang ada di tanganku.
Tangannya yang licin penuh busa sabun, ditambah peganganku yang lemah pada piring itu sukses membuat piringnya terjatuh, “KLONTANGGG…!”
Kebetulan piring yang kami gunakan untuk makan sehari-hari adalah piring yang terbuat dari bahan kaleng, membuat bunyi jatuhnya menjadi sangat merdu.
“Tuh kan To, jadi jatuh piringnya. Udah Tito belajar aja ya, biar ibu yang cuci piring. Lagian piring yang kotor kan cuma dikit, nggak bakal capek kok Ibu.” Ujarnya sembari mengambil piring yang telungkup di lantai cucian tanpa menoleh ke arahku.
“Hehehe….” Aku hanya cengengesan sambil perlahan bangkit dari jongkok.
Belum sampai benar-benar berdiri tegak aku dikejutkan oleh pemandangan yang mendebarkan. Ketika Ibu ingin membilas seluruh piring, saat itu air di ember sedang sangat sedikit. Jadi dia mengulurkan tangannya ke arah keran air yang agak jauh dari jangkauannya. Membuat posisi duduknya terpaksa sedikit diangkat agar tangannya bisa meraih keran. Seketika itu pula buah dadanya yang cukup besar yang terbungkus BH berwarna hitam terlihat dari balik lubang leher dasternya yang cukup rendah dan lebar. Tak cukup sampai disitu. Ketika dalam posisi ‘setengah berdiri’ itu pula rok daster bagian belakangnya yang tadinya terjepit betisnya ketika jongkok kini terburai ke bawah dan menampakkan pahanya yang mulus beserta celana dalamnya yang juga berwarna hitam.
Kontan saat itu juga jantungku berdegup kencang seolah sedang berlari sprint 100 meter. Wajahku terasa panas dan kemaluanku yang baru lima bulan lalu disunat terasa mendobrak resleting celanaku. Posisiku saat itu berdiri dengan terbungkuk yang otomatis dapat melihat segalanya dengan jelas. Dengan diterangi cahaya lampu jenis TL 10 watt berwarna putih terang ditambah dengan warna kulit Ibu yang sangat kontras dengan pakaian dalamnya membuat segalanya jadi sangat jelas di mataku.
“Syukurlah listrik sudah masuk ke desa ini sejak aku naik kelas 2 SD.” pikirku.
Waktu yang diperlukannya untuk memutar keran air memang sangat sebentar. Dia kembali duduk di dengklik kecil itu dan mulai membilas. Itu membuat pemandangan di wilayah dadanya tertutup kembali. Namun betapa beruntungnya aku. Ibu tidak ingat untuk membetulkan rok dasternya. Sehingga walaupun sudah terjepit betisnya, lorong untuk melihat ke dalam roknya masih terbuka. Kesempatan itu pun kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya hingga pekerjaannya selesai dan Ibu menumpuk piring untuk dibawa dan diletakkan ke rak piring di dapur.
Dia kemudian mendongak melihatku yang membungkuk dari tadi dan langsung mengomel. “Tadi kan Ibu udah bilang Tito masuk, kerjain PR-nya.”
Aku yang sedari tadi memandangi celana dalamnya yang tak tertutup terkejut bukan main dibuatnya. Tanpa sengaja tumitku terjegal bagian pinggir lantai tempat cucian yang lebih tinggi dan membuatku terhuyung bebas tanpa penghalang ke belakang. Responku tak sempat membuat tanganku menahan laju jatuhnya tubuhku dan akhirnya aku terjerembab dalam posisi menyamping dan malangnya ada batu besar penahan jemuran kain yang sudah menunggu kepalaku di bawah.
“DUUKKKK!” keningku sebelah kanan terbentur dengan kerasnya. Sempat terdengar sekilas suara Ibu yang agak berteriak kaget dan derap kakinya yang menuju ke arahku. Tapi tak sampai lima detik kemudian pandanganku memburam, pusing luar biasa, dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
Bersambung
Menjadi seorang Ibu dan istri yang ditinggal Suami bukanlah hal yang mudah bagi Yati, seorang wanita berusia 32 tahun yang kesehariannya menjual gorengan dan kuli cuci untuk menafkahi anak semata wayangnya yang masih berusia 12 tahun. Sudah lama Yati dan anaknya Tito ditinggal pergi merantau oleh sang kepala keluarga, Dewo. 12 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka untuk tidak merasakan peran sebagai istri dan anak yang baik oleh Dewo. Tidak pernah ada kabar secuilpun dari suaminya yang seolah-olah ditelan bumi. Kini Yati sudah pasrah akan keberadaan suaminya. Mungkin memang beginilah takdirnya. Berperan sebagai single parent untuk Tito yang bahkan sama sekali tak mengingat wajah Bapaknya itu karena Dewo sudah meninggalkannya sejak masih bayi.
Dengan pekerjaannya sekarang, Yati terbilang tidak begitu sulit dalam hal keuangan. Dulu memang dia sangat terpuruk ketika harus memikirkan cara menghidupi anaknya yang masih bayi. Sebagai wanita yang hanya tamat SMP membuatnya sangat sulit mencari pekerjaan yang layak. Ditambah lagi dia sudah tak punya sanak saudara yang bisa membantunya. Jarak rumahnya yang jauh dari kota besar juga semakin mempersulit keadaan. Dia tidak bisa meninggalkan rumahnya. Itu adalah satu-satunya warisan orang tuanya padanya dan sekaligus merupakan satu-satunya tempat dia bernaung. Uang warisan dari penjualan sawah orang tuanya juga sudah tinggal sedikit. Namun dia sangat tertolong ketika Bu Ratmi, istri kepala desa kebetulan bertemu dengannya di pasar tradisional setempat. Yati menceritakan segalanya padanya dan membuat Bu Ratmi sangat-sangat iba. Lalu ditawarkannya pekerjaan sebagai kuli cuci di rumahnya yang langsung diterima Yati dengan luapan kegembiraan. Bu Ratmi mengatakan bahwa bantuan itu tidaklah seberapa dibanding jasa orang tua Yati yang telah banyak membantu keluarganya dulu.
Desa tempat mereka tinggal bukanlah desa yang besar. Kebanyakan profesinya adalah sebagai petani, peternak, ataupun pedagang di pasar tradisional. Berkat peran dan koneksi Bu Ratmi yang kuat di desa itu dan desa tetangga, Yati tidak hanya mencuci di rumah Bu Ratmi saja, tapi juga di beberapa rumah lain yang sangat membutuhkan seorang kuli cuci. Hal itu membuat kondisi keuangannya semakin membaik dan membaik hingga dia bisa menyekolahkan anaknya dengan layak sampai kelas 6 SD sekarang ini. Yati juga menambah penghasilannya dengan menjual gorengan di dekat pasar tradisional ketika lewat tengah hari. Karena kesibukannya yang baru itu pula dia sudah tidak lagi bekerja di rumah-rumah warga lain sebagai kuli cuci, hanya di rumah Bu Ratmi saja. Dia terlalu lelah jika harus tetap menjalankan semuanya sekaligus. Ditambah lagi dia juga harus punya waktu luang yang lebih banyak untuk anak kesayangannya Tito.
Tito adalah anak yang sangat rajin dan berbakti di matanya. Selalu membantunya setiap waktu. Membantu membawa bahan gorengan ke pasar pulang dan pergi, membantu membereskan pekerjaan rumah, bahkan membantunya dalam masak-memasak untuk makanan mereka sehari-hari. Di tengah kesibukannya itu Tito tetap melakukan kewajibannya, belajar dengan sangat tekun. Untunglah sekarang ada listrik yang masuk ke desa ini sehingga dia tak perlu bersusah payah seperti dulu yang mana untuk belajar dan mengerjakan PR sekolahnya di dekat lampu petromak yang harus dipompa terus ketika cahayanya redup.
Senja baru tenggelam. Waktu menunjukkan pukul 07.30 malam. Suasana hening sudah menyelimuti desa itu sejak pukul 06.00 sore. Di sebuah rumah yang sangat sederhana itu seorang Ibu dan anaknya sedang makan malam dengan lahapnya. Kadang diselingi canda tawa akan pengalaman-pengalaman seru dan lucu yang mereka lalui sepanjang hari. Kebanyakan cerita-cerita itu datang dari Tito anaknya. Yati hanya tertawa kecil sesekali menanggapi cerita anaknya yang tampak seru itu.
***
“Wah, Ibu pakai daster kesukaanku nih. Mana Ibu makin keliatan cantik lagi kalo rambutnya dikuncir gitu. Mirip gayanya Bu Dina.” Aku terus berkomentar dalam hati melihat penampilan Ibu malam ini.
Wajah cantik, kulit kuning langsat nan mulus, rambut sebahu dilengkapi poni menyamping, membuatnya sangat sedap dipandang. Didukung dengan dada lumayan besar ditambah tubuhnya yang masih proporsional melengkapi keindahannya. Tidak ada lemak yang menutupi tubuhnya. Sangat padat dan kencang. Mungkin karena dia baru punya satu anak. Ditambah lagi pekerjaannya yang begitu banyak menguras tenaga membuat lemaknya terkuras dan kecantikannya tetap terjaga.
Ibu sedang makan dengan lahap bersamaku di meja makan kami yang kecil ini. Dia duduk di sebelah kananku. Bibirnya yang sedang mengunyah dan sesekali tersenyum ke arahku membuatku sangat suka memandanginya.
“Dimakan dong Nak. Masa dari tadi Cuma liatin Ibu makan aja kerjaannya. Sambal ikannya kepedesan ya?” Cecarnya membuyarkan pandanganku di bibirnya.
“Eh, Ngg… Nggak kok Bu, pedesnya pas.” Jawabku gugup sambil menyuapkan nasi asal-asalan ke dalam mulutku.
Ibu tersenyum lebih lebar dengan bibirnya yang kini sedikit berkilau karena minyak dari sambal dan kemudian meneruskan acara makannya. Ada serpihan cabe yang kulihat menempel di bibirnya.
“Emm… Bu! Sebentar deh…”
“Hmmm?” Sahutnya ke arahku dengan mulut masih tetap mengunyah.
Dengan agak gemetaran tanganku hinggap di bibirnya sambil menyeka serpihan cabe ‘berkah’ itu. “Ini Bu, ada cabe. Ibu makannya kayak anak kecil nih, belepotan.”
Saat itu juga dia menelan makanan yang sudah dikunyahnya dan kemudian tertawa kecil sambil menatapku lucu. Sekarang malah dia yang berganti mengusap-usap bibirku. “Tito bilangin Ibu belepotan tapi Tito sendiri makannya kayak anak balita yang baru belajar makan sendiri. Liat nih nasinya pada berserakan gini di mulut, malahan sampai ke dagunya, hihihi…”
Aku semakin gugup ketika sekarang malah dia yang mengusap-usap bibirku. Tangan dan jari-jari Ibu terasa bagai anugerah surgawi bagiku. Waktu terasa sangat lama berlalu saat dia menyeka bibir kecilku bergantian, ke kanan dan ke kiri. Betapa indahnya.
“Udah, lanjutin lagi makannya. Atau mau Ibu suapin?” Tawarnya sambil tersenyum untuk kesekian kalinya setelah selesai acara usap-usapan.
“Eh, emang boleh Bu?” Kataku dengan mata yang mungkin sudah berbinar-binar.
Padahal sudah sangat sering aku disuapi olehnya. Tapi rasanya malam ini terasa lain.
“Ya bolehlah, Kayak kemaren-kemaren nggak pernah Ibu suapin aja. Sini mulutnya, aaakkk….” Katanya sambil bersiap menyuapkan sesendok makanan yang sudah penuh dengan lauk dan sayur.
“Ammmm…” Lanjutnya sambil tersenyum ketika makanan sudah masuk ke dalam mulutku.
Dengan cepat kukunyah makanan itu sambil tak bosan-bosannya menatap wajahnya. Tangannya sibuk menyendok suapan berikutnya yang akan disuapkan lagi ke dalam mulutku.
Suapan pertama akhirnya tandas ke tenggorokanku. Namun ketika dia akan menyodorkan suapan lagi aku sedikit protes. “Bu! Jangan pake kata-kata ‘Ammm…’ kenapa sih? Tito kan malu. Kayak anak bayi aja.” Sungutku.
“Hihihi… Oh iya ya, anak Ibu kan udah besar ya, udah 12 tahun. Iya deh, nggak Ibu gituin lagi. Ya udah, nih lagi Nak.” Katanya sambil menyodorkan suapan berikutnya yang langsung kusambut dengan antusias.
“HHAAAMMM…NYAMM…NYAMM… Enak sayangku… Anakku sayang…” Katanya sambil membelai pipiku. Dia pun tertawa geli.
“Mmmm…! Nggg…! mmhh…!” Gumamku dengan keras.
Aku tak bisa menuturkan kekesalanku dengan jelas karena mulutku yang terisi penuh ini. Ibuku memang bermaksud menggodaku, dan itu berjalan sukses. Namun ada benih-benih kebahagiaan yang tertebar dibalik godaan-godaan Ibu itu. Aku merasa sangat nyaman sekaligus membuat jantungku berdebar-debar. Seperti ketika aku menatap Bu Dina, guruku di sekolah. Namun dia adalah orang ketiga dari tiga orang yang berhasil menarik hatiku. Tentu tempat yang pertama adalah Ibuku.
Entah sejak kapan aku mulai terpesona dan berpikiran mesum pada kecantikan Ibu. Mungkin semenjak kelas 5 SD. Tapi sepertinya perasaan itu semakin dalam ketika aku disunat sekitar lima bulan yang lalu. Betapa nikmatnya saat-saat itu. Aku begitu dimanjakan Ibu. Dia bahkan tidak jualan gorengan selama dua minggu. Dia sengaja pulang cepat dari pekerjaannya mencuci baju, melayani kebutuhanku, menyuapiku makan, bahkan memandikanku. Sungguh bahagia saat-saat itu. Terutama ketika Ibu memandikanku.
Hari pertama setelah aku disunat memang saat-saat yang dramatis. Tepatnya saat buang air. Ketika cebok selangkanganku terasa bagaikan disambar petir. Perihnya luar biasa. Ditambah lagi di dekatku ada Ibu yang setia menemaniku menambah penderitaanku. Penisku entah kenapa semakin menegang ketika melihatnya. Wajahnya, dadanya, pantatnya yang sedang berjongkok membuatku pusing tujuh keliling.
Padahal dia cukup panik dan sangat iba melihatku waktu itu di dalam kamar mandi, kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Dia hanya sanggup mengatakan, “Sakit banget Nak? Aduh Tito, jangan takut-takutin Ibu dong. Ibu jadi cemas nih. Tahan ya Nak ya, lusa kan kata Pak Dokter puskesmas udah bisa dilepas perbannya.” Ujarnya saat itu dengan mata berkaca-kaca. Dia juga hampir menangis melihat keadaanku.
Begitu sayangnya dia padaku hingga dia memelukku dengan eratnya waktu itu. Kepalaku tepat berada di buah dadanya. Wajahku menempel dengan sempurna di kedua gunung kembar miliknya. Berdua di dalam kamar mandi, dalam keadaan aku tanpa celana dan Ibu memakai daster yang cukup tipis. Benar-benar mendebarkan.
Pada saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Aku merasakan kenikmatan dan kesakitan di saat yang sama. Penisku menegang tak karuan membuat pergesekan yang luar biasa dengan perban yang membalutnya. Tubuhku menegang dan mataku melotot. Tidak tahu apakah dikarenakan melihat dada Ibu dalam jarak yang sangat dekat atau karena kesakitan yang teramat sangat. Sungguh kenangan yang luar biasa.
“Kok senyum-senyum sendiri?” Kata Ibu menyadarkanku.
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata aku barusan mengunyah sambil melamunkan masa-masa itu. Membuat Ibu memperhatikanku dari tadi. Segera kutelan suapannya dan menceritakan hal lain.
“Ibu tau nggak? Tadi si Rama kepleset di pinggir sungai deket rumah Pak Karim itu. Mukanya waktu meringis lucu banget Bu. Katanya pantatnya terasa remuk gitu. Ibu kebayang nggak muka si Rama kayak apa waktu itu? Hahaha…”
“Haha… Eh, Tito nggak boleh lho kayak gitu. Dia kan temen Tito sendiri. Memang sih mukanya lucu, tapi dia kan lagi kesakitan. Kamu tolong dia kan?”
“Iya dong Bu, Rama kan temen Tito yang paling baik, masa nggak ditolong.”
“Nah, gitu dong anak Ibu, setia kawan.” kata Ibu sambil tersenyum bangga dan melanjutkan menyuapiku.
“Tapi muka si Rama waktu meringis Tito teringat terus Bu. Hahaha…” sambungku lagi sambil mengunyah. Mengingat-ingat wajah Rama yang seperti orang yang ingin buang air besar ketika pantatnya terhempas di batuan besar di pinggir sungai memang sangat lucu.
“Husss… Udah ah. Makan dulu. Nanti keselek lho ketawa terus.” celetuk Ibu.
“Hehe… Iya Bu.” Aku pun melanjutkan makan dan Ibu juga melanjutkan makannya sendiri sampai selesai dan kemudian Ibu mencuci piring-piringnya.
Tempat mencuci piring di rumah kami adalah juga tempat di mana kami mencuci pakaian. Sepetak lantai semen berukuran 1×1,5 meter yang terletak di belakang bagian luar rumah. Tepat di sebelah pintu belakang. Sekeliling bagian belakang rumah kami dikelilingi pagar setinggi 2 meter yang terbuat dari papan dan dilapisi oleh seng bekas. Cukup tinggi untuk menutupi bagian belakang rumah. Pagar itu dibuat karena ayam-ayam tetangga yang cukup jauh dari rumah kami gemar sekali memporakporandakan semua yang ada di belakang rumah. Tanaman Ibu, makanan sisa di piring kotor, bahkan pakaian-pakaian kami sering kena kotoran mereka.
Sementara apabila ingin mencuci piring atau pakaian, kami harus berjongkok atau menggunakan semacam tempat duduk kecil berupa dengklik. Cukup melelahkan memang. Seperti apa yang kulihat sekarang ini. Melihatnya mencuci piring akupun tergerak maju dan berinisiatif untuk membantunya.
“Sini Bu, Tito bantu.” tawarku padanya. Aku sudah memegang sebuah piring dan bersiap untuk membasuhnya.
“Eh, Tito ngapain? Udah nak, nggak usah. Biar Ibu aja yang cuci piringnya. Tito belajar sana. Ada PR kan?” tolaknya sembari meraih piring yang ada di tanganku.
Tangannya yang licin penuh busa sabun, ditambah peganganku yang lemah pada piring itu sukses membuat piringnya terjatuh, “KLONTANGGG…!”
Kebetulan piring yang kami gunakan untuk makan sehari-hari adalah piring yang terbuat dari bahan kaleng, membuat bunyi jatuhnya menjadi sangat merdu.
“Tuh kan To, jadi jatuh piringnya. Udah Tito belajar aja ya, biar ibu yang cuci piring. Lagian piring yang kotor kan cuma dikit, nggak bakal capek kok Ibu.” Ujarnya sembari mengambil piring yang telungkup di lantai cucian tanpa menoleh ke arahku.
“Hehehe….” Aku hanya cengengesan sambil perlahan bangkit dari jongkok.
Belum sampai benar-benar berdiri tegak aku dikejutkan oleh pemandangan yang mendebarkan. Ketika Ibu ingin membilas seluruh piring, saat itu air di ember sedang sangat sedikit. Jadi dia mengulurkan tangannya ke arah keran air yang agak jauh dari jangkauannya. Membuat posisi duduknya terpaksa sedikit diangkat agar tangannya bisa meraih keran. Seketika itu pula buah dadanya yang cukup besar yang terbungkus BH berwarna hitam terlihat dari balik lubang leher dasternya yang cukup rendah dan lebar. Tak cukup sampai disitu. Ketika dalam posisi ‘setengah berdiri’ itu pula rok daster bagian belakangnya yang tadinya terjepit betisnya ketika jongkok kini terburai ke bawah dan menampakkan pahanya yang mulus beserta celana dalamnya yang juga berwarna hitam.
Kontan saat itu juga jantungku berdegup kencang seolah sedang berlari sprint 100 meter. Wajahku terasa panas dan kemaluanku yang baru lima bulan lalu disunat terasa mendobrak resleting celanaku. Posisiku saat itu berdiri dengan terbungkuk yang otomatis dapat melihat segalanya dengan jelas. Dengan diterangi cahaya lampu jenis TL 10 watt berwarna putih terang ditambah dengan warna kulit Ibu yang sangat kontras dengan pakaian dalamnya membuat segalanya jadi sangat jelas di mataku.
“Syukurlah listrik sudah masuk ke desa ini sejak aku naik kelas 2 SD.” pikirku.
Waktu yang diperlukannya untuk memutar keran air memang sangat sebentar. Dia kembali duduk di dengklik kecil itu dan mulai membilas. Itu membuat pemandangan di wilayah dadanya tertutup kembali. Namun betapa beruntungnya aku. Ibu tidak ingat untuk membetulkan rok dasternya. Sehingga walaupun sudah terjepit betisnya, lorong untuk melihat ke dalam roknya masih terbuka. Kesempatan itu pun kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya hingga pekerjaannya selesai dan Ibu menumpuk piring untuk dibawa dan diletakkan ke rak piring di dapur.
Dia kemudian mendongak melihatku yang membungkuk dari tadi dan langsung mengomel. “Tadi kan Ibu udah bilang Tito masuk, kerjain PR-nya.”
Aku yang sedari tadi memandangi celana dalamnya yang tak tertutup terkejut bukan main dibuatnya. Tanpa sengaja tumitku terjegal bagian pinggir lantai tempat cucian yang lebih tinggi dan membuatku terhuyung bebas tanpa penghalang ke belakang. Responku tak sempat membuat tanganku menahan laju jatuhnya tubuhku dan akhirnya aku terjerembab dalam posisi menyamping dan malangnya ada batu besar penahan jemuran kain yang sudah menunggu kepalaku di bawah.
“DUUKKKK!” keningku sebelah kanan terbentur dengan kerasnya. Sempat terdengar sekilas suara Ibu yang agak berteriak kaget dan derap kakinya yang menuju ke arahku. Tapi tak sampai lima detik kemudian pandanganku memburam, pusing luar biasa, dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
Bersambung
9 years ago